Memories
[ONESHOOT/DONGHAE] Memories
Cast: Lee Donghae-Kim Min Rin (OC)
Genre: AU, hurt, sad
Length: Oneshoot
Rate: PG-15
Author: drulispan
Twitter: @yerryaulisolia
Disclaimer: Hi everyone! This story is pure mine. Kunjungi storyofrasti.blogspot.co.id untuk cerita lainnya. Big thanks to admin Hikssie~ Happy reading and hope you enjoy it!^^
***
Genggaman pada benda segi empat itu melonggar seiring cairan bening di pelupuk matanya perlahan menetes menuruni wajah tampannya. Mata yang selalu memberikan tatapan teduh itu terlihat lebih sipit dari biasanya. Lingkaran hitam disertai bengkaknya kelopak mata menghiasi mata indahnya belakangan hari ini. Pria itu, Lee Donghae, kembali menangis di depan gambar seorang gadis. Mengingat waktu yang manis bersama sang gadis.
-Flashback-
"Kau menyukainya?"
Gadis dengan sweater pink itu mengangguk, matanya berbinar menatap liontin yang kini melingkar di leher jenjangnya. Tangannya tak henti mengelus batu permata biru yang menambah kesan elegan pada liontin itu. "Aku sangat menyukainya, oppa. Terima kasih." Ucap gadis itu lalu memeluk Donghae.
"Oppa senang mendengarnya, Minrin-ah..."
-Flashback end-
***
Deringan bel berbunyi ketika Donghae masuk ke kafe itu. Matanya menyisir ke seluruh penjuru ruangan mencari sosok gadisnya, Kim Min Rin. Seulas senyum di wajahnya tercetak jelas ketika ekor matanya menangkap sosok Minrin yang duduk manis di sudut ruangan. Dengan langkah pasti, Donghae menghampiri gadisnya tetap dengan senyuman khas seorang Lee Donghae.
"Apa kau sudah menunggu lama, Minrin-ah?"
Gadis itu menoleh menyadari kedatangan pria yang dinantinya. "Oh oppa, duduklah."
"Ada apa?" Tanya Donghae. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
"Katakan saja, sayang."
Tangan Minrin mengaduk-aduk minuman favoritnya, terlihat ragu untuk berbicara. Matanya bahkan tak berani menatap pria yang duduk di depannya.
"Ada apa, sayang? Katakan saja. Oppa akan mendengarnya dengan baik." Ujar Donghae menyadari ada gelagat aneh pada Minrin.
"Aku ingin..."
"Ya?" Donghae menautkan alisnya, heran. Tak biasanya gadisnya bersikap seperti ini, pikirnya. Donghae lalu mengulurkan tangannya, mencoba mengusap pelan buku-buku jari kekasih hatinya. "Ada apa, sayang? Kenapa kau seperti ini heum?"
Minrin menyesap americano-nya pelan, "Aku ingin kita putus, oppa."
Donghae tercekat. Ia seolah merasakan bahwa jantungnya berhenti mendadak. Ada rasa sakit yang menjalar begitu cepat saat mendengar Minrin mengatakan kalimat yang terdengar buruk baginya. Rasa sakit yang teramat sangat menyakitkan.
"A-apa maksudmu?"
"Aku tidak mencintaimu lagi, oppa."
Hati Donghae mencelos, perih. Kalimat yang sangat dibencinya begitu saja terucap secara jelas membuat rasa sakit kembali menjajaki tubuhnya.
"Jangan bercanda, Minrin-ah. Kau tahu betul betapa tak sukanya aku dengan candaan seperti ini."
"Aku serius, oppa. Sungguh, aku tak lagi mencintaimu."
Donghae menggeleng, "Berhenti berbohong. Kau bahkan tak berani menatapku."
"Aku minta maaf, oppa. Aku memang sudah tak memiliki rasa untukmu." Minrin mengangkat kepalanya, mencoba memandang Donghae yang menatapnya tak percaya.
"Aku tak percaya padamu, Minrin-ah. Hentikan sandiwaramu disini."
Donghae menyenderkan tubuhnya ke kursi lalu memejamkan matanya berusaha menenangkan diri.
"Aku tak bersandiwara. Aku memang tak lagi mencintaimu, oppa."
Helaan nafas Donghae terdengar gusar, "Aku tak suka melihatmu berbohong seperti ini, Minrin-ah. Ku mohon, berhentilah."
Ucapan Donghae terdengar memelas di telinga Minrin. Membuat gadis itu sedikit merasa sesak di dalam hatinya. "Aku serius, oppa. Maafkan aku."
"Bukankah kau juga mencintaiku, Minrin-ah? Bukankah kau bahagia saat bersamaku? Kau bilang bahwa kita adalah pasangan yang sempurna. Pasangan yang istimewa. Tidakkah kau ingat semuanya, Minrin-ah?"
Nafas Donghae memburu. Tangannya mengepal erat di ujung kemejanya. Emosi masih menguasai diri Donghae. "Oke. Kau menang kali ini. Aku mengakui sandiwaramu sangat bagus. Sekarang hentikanlah, Minrin-ah. Ku mohon hentikan." Ucapnya serak.
Donghae terisak. Cairan bening kini menumpuk di mata teduhnya, menunggu giliran untuk turun membasahi pipi. "Kau bahkan mengatakan akulah tempatmu bersandar. Akulah tempatmu berbagi cerita. Tidakkah kau mengingatnya?"
Cairan bening itu berhasil lolos menembus pertahanan yang Donghae buat. Perlahan-lahan membentuk aliran di kedua sisi pipi tirusnya. "Oppa..."
"Tidakkah kau ingat perkataanmu? Akulah obat rasa sakitmu? Akulah satu-satunya yang dapat menghilangkan rasa sakitmu? Tidakkah kau ingat itu semua, Kim Min Rin?!" Kali ini Donghae berteriak tanpa ia sadari.
"Donghae oppa!" Minrin menatap Donghae lekat. "Dengarkan aku baik-baik. Aku sudah tak memiliki rasa untukmu. Jangan mengungkit apa yang sudah terlewati. Berhentilah mengingat masa lalu, oppa."
Donghae menggelengkan kepalanya cepat, "Ini tak mungkin. Aku pasti hanya bermimpi. Katakan padaku bahwa ini semua hanya mimpi burukku, Minrin-ah..."
Minrin beranjak dari kursi berusaha menghindari tatapan Donghae. "Kau harus percaya, oppa. Hiduplah dengan baik tanpa aku. Maaf, aku harus pergi."
Tangan Donghae berusaha menggapai jemari gadis bermarga Kim itu. Mencoba agar sang gadis berbalik memeluk dirinya serta mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah candaan.
"Maafkan aku, oppa..."
Hanya terdengar helaan napas panjang dari Donghae setelah sosok Minrin segera menghilang dari balik pintu. Ia menutupi wajahnya dengan menangkupkan kedua telapak tangannya. Sesekali isakan kecil meluncur dari bibir tipisnya. Isakan yang menunjukkan betapa sakit dan rapuhnya pria itu kini.
"Kim Min Rin..."
***
Donghae memandang lekat gambar seorang gadis. Seakan ingin merekam dengan jelas lekuk wajah sang gadis secara rinci. Jemarinya mengelus pelan pipi kanan gadis itu. Miris, kata yang cocok untuk mendeskripsikan ekspresinya kini. Mata yang sayu dan senyum yang menyiratkan kesedihan menghiasi wajahnya yang semakin tirus. Cairan bening itu bahkan sudah mengering, membuatnya terlihat lebih menyedihkan.
'Kau dimana sekarang? Apa yang sedang kau lakukan?' Lagi, cairan bening itu kembali menumpuk di pelupuk mata Donghae. 'Ingatkah kau? Senyumanku selalu menjadi obat buatmu. Obat atas kepedihan yang kau rasakan. Kau bahkan mengatakan kau merasa terluka saat air mataku mengalir. Kau membenci air mataku. Benci ketika melihat aku merasa sakit.' Donghae menepuk dadanya yang terasa sesak seperti terhimpit akan sesuatu.
'Tidakkah kau lihat? Aku merasa sakit. Kenapa kau tak menjadi obat untukku? Kenapa kau malah menjadi penyebab dari rasa sakit ini?' TES! Air mata Donghae kembali mengalir. 'Aku selalu mencarimu bahkan berteriak seperti orang gila. Tidak bisakah kau mendengar suaraku? Rintihanku?'
Donghae kembali terisak, 'Semudah itukah kau melupakan semuanya? Semua kenangan kita?' Tangannya kembali mengelus potongan gambar itu. 'Tahukah kau? Aku selalu menunggumu dalam penantianku. Penantian panjangku. Ku mohon, kembalilah padaku. Aku merindukanmu, Kim Min Rin...'
Cast: Lee Donghae-Kim Min Rin (OC)
Genre: AU, hurt, sad
Length: Oneshoot
Rate: PG-15
Author: drulispan
Twitter: @yerryaulisolia
Disclaimer: Hi everyone! This story is pure mine. Kunjungi storyofrasti.blogspot.co.id untuk cerita lainnya. Big thanks to admin Hikssie~ Happy reading and hope you enjoy it!^^
***
Genggaman pada benda segi empat itu melonggar seiring cairan bening di pelupuk matanya perlahan menetes menuruni wajah tampannya. Mata yang selalu memberikan tatapan teduh itu terlihat lebih sipit dari biasanya. Lingkaran hitam disertai bengkaknya kelopak mata menghiasi mata indahnya belakangan hari ini. Pria itu, Lee Donghae, kembali menangis di depan gambar seorang gadis. Mengingat waktu yang manis bersama sang gadis.
-Flashback-
"Kau menyukainya?"
Gadis dengan sweater pink itu mengangguk, matanya berbinar menatap liontin yang kini melingkar di leher jenjangnya. Tangannya tak henti mengelus batu permata biru yang menambah kesan elegan pada liontin itu. "Aku sangat menyukainya, oppa. Terima kasih." Ucap gadis itu lalu memeluk Donghae.
"Oppa senang mendengarnya, Minrin-ah..."
-Flashback end-
***
Deringan bel berbunyi ketika Donghae masuk ke kafe itu. Matanya menyisir ke seluruh penjuru ruangan mencari sosok gadisnya, Kim Min Rin. Seulas senyum di wajahnya tercetak jelas ketika ekor matanya menangkap sosok Minrin yang duduk manis di sudut ruangan. Dengan langkah pasti, Donghae menghampiri gadisnya tetap dengan senyuman khas seorang Lee Donghae.
"Apa kau sudah menunggu lama, Minrin-ah?"
Gadis itu menoleh menyadari kedatangan pria yang dinantinya. "Oh oppa, duduklah."
"Ada apa?" Tanya Donghae. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
"Katakan saja, sayang."
Tangan Minrin mengaduk-aduk minuman favoritnya, terlihat ragu untuk berbicara. Matanya bahkan tak berani menatap pria yang duduk di depannya.
"Ada apa, sayang? Katakan saja. Oppa akan mendengarnya dengan baik." Ujar Donghae menyadari ada gelagat aneh pada Minrin.
"Aku ingin..."
"Ya?" Donghae menautkan alisnya, heran. Tak biasanya gadisnya bersikap seperti ini, pikirnya. Donghae lalu mengulurkan tangannya, mencoba mengusap pelan buku-buku jari kekasih hatinya. "Ada apa, sayang? Kenapa kau seperti ini heum?"
Minrin menyesap americano-nya pelan, "Aku ingin kita putus, oppa."
Donghae tercekat. Ia seolah merasakan bahwa jantungnya berhenti mendadak. Ada rasa sakit yang menjalar begitu cepat saat mendengar Minrin mengatakan kalimat yang terdengar buruk baginya. Rasa sakit yang teramat sangat menyakitkan.
"A-apa maksudmu?"
"Aku tidak mencintaimu lagi, oppa."
Hati Donghae mencelos, perih. Kalimat yang sangat dibencinya begitu saja terucap secara jelas membuat rasa sakit kembali menjajaki tubuhnya.
"Jangan bercanda, Minrin-ah. Kau tahu betul betapa tak sukanya aku dengan candaan seperti ini."
"Aku serius, oppa. Sungguh, aku tak lagi mencintaimu."
Donghae menggeleng, "Berhenti berbohong. Kau bahkan tak berani menatapku."
"Aku minta maaf, oppa. Aku memang sudah tak memiliki rasa untukmu." Minrin mengangkat kepalanya, mencoba memandang Donghae yang menatapnya tak percaya.
"Aku tak percaya padamu, Minrin-ah. Hentikan sandiwaramu disini."
Donghae menyenderkan tubuhnya ke kursi lalu memejamkan matanya berusaha menenangkan diri.
"Aku tak bersandiwara. Aku memang tak lagi mencintaimu, oppa."
Helaan nafas Donghae terdengar gusar, "Aku tak suka melihatmu berbohong seperti ini, Minrin-ah. Ku mohon, berhentilah."
Ucapan Donghae terdengar memelas di telinga Minrin. Membuat gadis itu sedikit merasa sesak di dalam hatinya. "Aku serius, oppa. Maafkan aku."
"Bukankah kau juga mencintaiku, Minrin-ah? Bukankah kau bahagia saat bersamaku? Kau bilang bahwa kita adalah pasangan yang sempurna. Pasangan yang istimewa. Tidakkah kau ingat semuanya, Minrin-ah?"
Nafas Donghae memburu. Tangannya mengepal erat di ujung kemejanya. Emosi masih menguasai diri Donghae. "Oke. Kau menang kali ini. Aku mengakui sandiwaramu sangat bagus. Sekarang hentikanlah, Minrin-ah. Ku mohon hentikan." Ucapnya serak.
Donghae terisak. Cairan bening kini menumpuk di mata teduhnya, menunggu giliran untuk turun membasahi pipi. "Kau bahkan mengatakan akulah tempatmu bersandar. Akulah tempatmu berbagi cerita. Tidakkah kau mengingatnya?"
Cairan bening itu berhasil lolos menembus pertahanan yang Donghae buat. Perlahan-lahan membentuk aliran di kedua sisi pipi tirusnya. "Oppa..."
"Tidakkah kau ingat perkataanmu? Akulah obat rasa sakitmu? Akulah satu-satunya yang dapat menghilangkan rasa sakitmu? Tidakkah kau ingat itu semua, Kim Min Rin?!" Kali ini Donghae berteriak tanpa ia sadari.
"Donghae oppa!" Minrin menatap Donghae lekat. "Dengarkan aku baik-baik. Aku sudah tak memiliki rasa untukmu. Jangan mengungkit apa yang sudah terlewati. Berhentilah mengingat masa lalu, oppa."
Donghae menggelengkan kepalanya cepat, "Ini tak mungkin. Aku pasti hanya bermimpi. Katakan padaku bahwa ini semua hanya mimpi burukku, Minrin-ah..."
Minrin beranjak dari kursi berusaha menghindari tatapan Donghae. "Kau harus percaya, oppa. Hiduplah dengan baik tanpa aku. Maaf, aku harus pergi."
Tangan Donghae berusaha menggapai jemari gadis bermarga Kim itu. Mencoba agar sang gadis berbalik memeluk dirinya serta mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah candaan.
"Maafkan aku, oppa..."
Hanya terdengar helaan napas panjang dari Donghae setelah sosok Minrin segera menghilang dari balik pintu. Ia menutupi wajahnya dengan menangkupkan kedua telapak tangannya. Sesekali isakan kecil meluncur dari bibir tipisnya. Isakan yang menunjukkan betapa sakit dan rapuhnya pria itu kini.
"Kim Min Rin..."
***
Donghae memandang lekat gambar seorang gadis. Seakan ingin merekam dengan jelas lekuk wajah sang gadis secara rinci. Jemarinya mengelus pelan pipi kanan gadis itu. Miris, kata yang cocok untuk mendeskripsikan ekspresinya kini. Mata yang sayu dan senyum yang menyiratkan kesedihan menghiasi wajahnya yang semakin tirus. Cairan bening itu bahkan sudah mengering, membuatnya terlihat lebih menyedihkan.
'Kau dimana sekarang? Apa yang sedang kau lakukan?' Lagi, cairan bening itu kembali menumpuk di pelupuk mata Donghae. 'Ingatkah kau? Senyumanku selalu menjadi obat buatmu. Obat atas kepedihan yang kau rasakan. Kau bahkan mengatakan kau merasa terluka saat air mataku mengalir. Kau membenci air mataku. Benci ketika melihat aku merasa sakit.' Donghae menepuk dadanya yang terasa sesak seperti terhimpit akan sesuatu.
'Tidakkah kau lihat? Aku merasa sakit. Kenapa kau tak menjadi obat untukku? Kenapa kau malah menjadi penyebab dari rasa sakit ini?' TES! Air mata Donghae kembali mengalir. 'Aku selalu mencarimu bahkan berteriak seperti orang gila. Tidak bisakah kau mendengar suaraku? Rintihanku?'
Donghae kembali terisak, 'Semudah itukah kau melupakan semuanya? Semua kenangan kita?' Tangannya kembali mengelus potongan gambar itu. 'Tahukah kau? Aku selalu menunggumu dalam penantianku. Penantian panjangku. Ku mohon, kembalilah padaku. Aku merindukanmu, Kim Min Rin...'
No comments :
Post a Comment