[Mini FF ] “Destiny” One Shoot
Author : Deani (@yesungcharger)
Cast : Lee Donghae, Kim Heejung
Genre : Entahlah/?
Lenght : One Shoot.
Ps : Membosankan. Feelnya kurang banget. Maaf *BOW
Tiba-tiba kepikiran ingin membuat cerita aneh ini WKWKWK… Aduh, si Ikan. Maaf ya, jika kurangggg panjaaaang/?
!!! Jangan lupa, sambil muter ‘Destiny’-nya Super Junior
Dan, ini sebenarnya untuk seseorang yang sangat berambisi menjadi pendamping Dongek selamanya. Padahal itu semua kan, gag mungkin!!! Buat, Cici. Visual jeer… ^^ Maaf hanya bisa membuat cerita polos/? ini, maklum. Buatnya juga sambil tiduran sama Yesung. EAAAAAK xD
Okey, Happy Reading^^
Seoul, hari ini cuacanya sangat cerah. Kemungkinan besar acara out door yang diadakan Sekolah ini juga akan berjalan dengan lancar. Siswa-siswi yang menggunakan seragam khusus panitia tampak sibuk menyiapkan berbagai kelengkapan acara perpisahan untuk kelas tiga.
Seorang siswa—yang memakai seragam panitia, satu ini, malah memilih menjauh dari hiruk pikuk, keramaian ini. Duduk di bangku, yang terdapat rooftop gedung sekolah ini. Menatap ke depan. Menikmati pemandangan kota dari atas sini adalah favoritnya selama menjadi siswa di Paran High School ini. Tidak akan banyak yang menyangka ini, sama sekali.
Menghembuskan nafas panjangnya sambil memejamkan matanya dia akan sangat merindukan Sekolah ini. Sangat. Apalagi pada seseorang yang telah mengubah hidupnya, cara pandangnya selama ini. Seseorang yang berhasil menyentuh hatinya. Membuatnya selalu bergetar tiap kali melihat senyum yang indah itu merekah di wajah cantiknya itu. Seseorang yang membuatnya mengenal, kata Cinta yang sesungguhnya.
Ini konyol memang, tapi itulah kenyataannya. Dia tidak bisa jauh dari gadis ini. Tidak bisa. Tapi, keputusannya kali ini. Akan membuatnya, jauh dengan gadis yang dia cintainya ini. Mungkin untuk sementara waktu. Mungkin.
Dia, begitu banyak yang mencintai. Gadis-gadis di Sekolah ini, semuanya bahkan tahu, dia seorang yang sangat tampan. Baik. Manis. Type semua gadis, kebanyakan. Dia juga seorang player. Yah, memanfaatkan ketampanan wajahnya, itu tidak salah, kan? Dari situ, dia tahu rasanya di sayangi. Di puja. Di cintai. Dia memang membutuhkan itu, karena di dalam keluarganya. Ia hanya merasa disayangi oleh kakak laki-lakinya saja. Ke dua orang tuanya sudah meninggal saat dia masih kecil. Usianya kala itu, masih 3 tahun. Dan, hidup tanpa kasih sayang ke dua orang tua itu. Tidaklah, enak.
Ponselnya berdering. Membuyarkan dia dari lamunannya. Sebuah pesan, dari seorang gadis yang masih berstatus sebagai salah satu kekasihnya.
‘Babeeee, kau di mana? Acaranya sudah mulai dari tadi. Guru Kim, juga mencarimu’
DEG! Hanya mendengar namanya di sebut, jantungnya sudah berdebar-debar. Lihat, kan. Bagaimana efeknya sedahsyat ini. Dia tidak salah, kan. Mencintai gurunya sendiri.
Dia, diam tidak membalas pesan. Bahkan, Jihyun—Kekasihnya saja tidak tahu tempat favoritnya ini. Hanya ‘gadis itu’ yang tahu, tempat favoritnya. Hanya dia…
***
Senyumnya merekah saat melihat, sesosok yang di kenalinya sedang duduk sendirian. Angin semilir menggerakkan rambutnya yang terurai. Membuat wajahnya semakin terlihat sangat cantik. Tapi, kemudian dia merasa ada yang lain dari sosok pria yang sudah di kenalnya, setahun ini. Ada yang lain.
Dia bergerak mendekat. Dan seperti biasa. Dia duduk di samping, muridnya ini. Dulu dia murid yang paling di bencinya, karena sikapnya yang selalu membuatnya kesal. Setiap kali pelajarannya. Dia, selalu membuat ulah, dengan mengerjainya. Tidak hanya itu, bahkan pernah bertengkar hanya karena adu opini saat membahas tentang mata pelajarannya. Bahkan, dia dulu ingin mengundurkan diri saja, dari Sekolah ini. Ya. Dia, guru baru saat itu. Menggantikan guru yang sedang cuti karena melahirkan. Sehingga dia mengajar kelas tiga.
Semuanya berubah, ketika suatu malam. Saat dia, akan merayakan Anniversary yang pertama dengan kekasihnya, Choi Siwon, di sebuah cafe. Dia ingin memberi surprise pada kekasihnya, karena kekasihnya sangat sibuk. Jarang bertemu dengannya. Hanya intensitas, telepon dan pesan saja, mereka berhubungan. Tapi, tanpa ia duga, justru Siwon tidak bisa datang. Walau hanya sedetik saja. Hingga membuatnya, seperti gadis tolol. Menunggu Siwon datang. Band yang akan menyanyikan lagu, untuk mereka berdua, yang khusus di pesan olehnya, di cafe ini, terpaksa di batalkan, karena yang dia tunggu tidak datang. Tidak akan. Sedih. Hatinya sakit. Menangis tersedu, sendirian.
Saat yang tidak terduga, bahkan tidak pernah terfikirkan olehnya. Sesosok yang membuat hari-harinya kesal oleh tingkah lakunya sebagai siswanya. Ternyata, sekarang ada di atas podium mini kafe ini. Menyebutkan namanya—Untuk Gadis Cantik di sana, Kim Hee Jung, sebelum akhirnya dia memetik senar gitar dengan ahlinya. Kemudian suara merdunya, menghiasi ruangan ini.
“Donghae…” Gumam Hee Jung, melihat siswa—menyebalkan, itu dengan terperangah. Dengan indahnya, perpaduan gitar dan suara merdunya dalam ‘Lovely Day’, Donghae membuat dia tidak bisa berkutik. Tanpa terasa, ia terharu oleh nyanyian dan suara merdu Donghae. Ya, Tuhan. Ini indah sekali. Bahkan semua pengunjung dibuat takjub oleh penampilan muridnya ini.
Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa Donghae ada di sini? Kenapa Donghae tahu dia di sini? Apa, dia mengikutiya?
Lagu selesai, seluruh pengunjung memberi tepuk tangan meriah pada penampilan Donghae dan kini tatapan Donghae tertuju padanya. Hanya padanya. Entah kenapa, dia menjadi salah tingkah dengan tatapan Donghae. Bahkan, rasa kesalnya telah menguap karena aksi Donghae malam ini.
Perlahan Donghae bergerak menuju ke tempatnya , dengan senyum yang sulit diartikan. Dia, sangat tampan malam ini. Dengan tshirt putih vneck dan jas biru muda semiformalnya—lengan yang hanya sampai siku. Muridnya ini, benar-benar membiusnya. Hingga sulit berkedip. Tidak. Jangan terpesona. Dia mungkin hanya ingin menjeratmu, seperti gadis-gadis di Paran High School, kebanyakan.
Donghae tiba di depannya. Heejung, menelan ludah dengan susah payah. Apa Donghae mengerjainya lagi, seperti yang ia lakukan di dalam kelas saat ia mengajar? Dia diam. Menunggu apa yang akan Donghae lakukan. Donghae yang berdiri di depannya, dan dia yang duduk. Kini, keduanya menjadi bahan tontonan semua orang yang berada dalam cafe ini.
Donghae menunduk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan wajah Heejung. Tatapannya intens. Dalam dan begitu membuat jantungnya berdebar. Ada apa ini??? Saat bersama Siwon saja, dia tidak merasa seperti ini.
CUP! Heejung tersentak, dan matanya membelahak. Sebuah bib*r yang lembab dan lembut menempel di pipinya. Apa yang di lakukan Donghae, barusan. Di tempat umum? Dia menci*m gurunya sendiri, kan?
Heejung masih terpaku. Menahan nafas sejenak. Mengumpulkan kesadarannya. Donghae berlutut di depannya, memegang kedua tangannya. Ini semakin membuatnya ingin pingsan. Seharusnya, ia menampar murid kurang ajarnya, kan. Seharusnya. Tapi, badannya seperti tidak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan jantungnya, berdebar dengan sangat kencang saat ini. Ini, tidak mungkin! Ini mimpi!
“Maafkan, aku…” ucap Donghae dengan tulus. Sorot matanya terlihat rapuh, sedih. Tidak. “Kau mau memaafkan, aku?”
Dia menggunakan bahasa seperti Heejung ini adalah gadis seusianya. Padahal gurunya ini, usianya jauh di atasnya. Terpaut 5 tahun.
“Donghae, apa yang kau lakukan—“ Heejung berbisik. Donghae masih berlutut di depannya, hingga semua orang kini malah asyik menonton mereka berdua. “Berdiri, Donghae. Aku—“
“Aku akan berdiri, kalau kau mau memaafkan aku, dan—“
“Jangan bercanda, Donghae. Bagaimana kalau staff guru, siswa Paran, tahu kalau—“
“Aku tidak peduli!” desis Donghae. Heejung memejamkan matanya. Kenapa menjadi seperti ini? Lihatlah, bahkan kedua tangannya masih di genggam erat oleh Donghae. Ya, ampun. Muridnya yang satu ini. Telah mencuri banyak perhatiannya.
Lalu, apa yang membuat Donghae berubah menjadi seperti ini? Pertanyaan ini muncul dalam benak Heejung saat ini.
“Okey. Aku—“
“Terima! Terima! Terima!”
Heejung terkejut ketika seluruh orang di sini, berteriak TERIMA! Apa yang di terima? Mereka mengira, Donghae melamarnya, begitu? Yang benar saja. Mereka semua salah. Heejung menatap Donghae, bahkan pria ini hanya tersenyum samar. Dasar.
“Terima? Maafku?” katanya menggoda. Heejung menahan senyum, melihat wajah murid tampannya satu ini. Dari awal mengajar di kelas Donghae, ia tahu. Muridnya ini berbeda dari lainnya.
“Ada syaratnya.” ucapnya pada Donghae. Donghae mengernyit. “Apa?” tanya Donghae.
“Kau harus menerima tawaran Kepala Sekolah untuk mengikuti privat, agar kau lulus. Bagaimana?”
Donghae tersenyum miring, penuh arti. Justru itu, memang rencananya. Dia ingin, Gurunya yang cantik ini menjadi, guru privatnya. Gurunya yang menyita perhatiannya, setiap hari. Membuatnya tidak karuan dan frustasi akan perasaannya sendiri.
“Baik. Aku bersedia mengikuti, privatmu. Bahkan setiap hari…”
“Be—benarkah?” Heejung terkejut. Ada apa dengan muridnya ini? “Kau, tidak bercanda?” ulangnya ragu.
“IYA! Aku sungguh-sungguh. Jadi, kau menerima—maafku?” ucap Donghae sungguh-sungguh. Heejung tampak berpikir. Kemudian, tersenyum simpul.
“Ya.”
“Akhhh!!!!!” Heejung memekik saat Donghae tiba-tiba berdiri dan memeluk tubuhnya erat dan sedikit mengangkatnya. Semua orang bertepuk tangan melihat dua orang ini. Mereka semua mengira, mereka sepasang kekasih. Padahal… hanya sebatas guru dan murid. Apa terlihat mereka seumuran?
Heejung tidak mengira, hari yang akan ia kira menjadi hari paling sedih—karena Siwon tidak bisa datang. Berkat Donghae, hari ini menjadi lebih indah. Dia merasa, bahagia. Apalagi, malam itu Donghae membawanya jalan-jalan dengan motor sportnya. Membuat, malamnya lebih berwarna. Ia lebih mengenal sisi lain, dari muridnya yang menyebalkan ini.
Sejak malam itu, Donghae mulai sering menghabiskan waktunya bersama Heejung. Pulang sekolah, kadang dia rela, tidak ikut teman se-gengnya untuk berkumpul, menghabiskan waktu, atau sekedar bersama para penggemar-penggemarnya. Dia, lebih memilih bersama dengan Guru Kim.
Heejung, tanpa ia sadari. Dia sudah merasa sangat nyaman, mengajari Donghae. Bahkan, ia rasa Donghae berubah total. Tidak pernah mengerjainya, lagi. Di dalam kelas, saat pelajarannya, Donghae bahkan terus saja menatapnya. Entah, dia mendengarkan pelajaran, atau memang terus menatapnya? Tapi, yang membuat ia takut. Perasaan aneh selalu muncul, jika dia tidak bersama Donghae. Jika, Donghae selalu bersama dengan para gadis-gadis yang selalu memuja, setiap saat. Entahlah… ia selalu berusaha keras menepis itu semua. Dia selalu, menyadarkan dirinya, bahwa dia masih mempunyai Siwon. Bahwa, Donghae adalah muridnya. Bahwa dia jauh lebih tua dari Donghae. Bahwa Donghae dianggapnya, adiknya sendiri. Tapi—semua itu, terlalu sulit.
Terlebih Heejung, menjadi tempat Donghae mencurahkan isi hatinya, terutama saat dia kesepian. Tanpa, Ibu, Ayah.. dan kakaknya sibuk mengurusi bisnis peninggalan orang tuanya. Heejung, juga merasa mendapat teman yang bisa di ajak untuk berbagi. Terlebih, Donghae selalu ada saat Heejung membutuhkan. Bukan, Siwon—Kekasihnya.
Siang itu, menjelang sore. Heejung menunggu Siwon yang berniat menjemputnya. Tapi, bahkan sampai detik ini, Siwon juga belum muncul. Langit mendung, dan semakin gelap. Sial, dia tidak membawa card untuk naik bus, dan uangnya? Astaga… Kebiasan Heejung, dia lupa membawa uang tunai lebih. Bagaimana ini?
Dari kejauhan. Sesosok tengah memperhatikannya. Dia, melakukan kebiasaan seperti ini sudah lama. Hanya saja, tidak ada yang tahu. Ia melakukan ini, hanya memastikan gadis itu aman. Dia tidak bisa berbuat lebih dari ini. Sudah cukup ia melihat senyum cantik gurunya itu. Sudah cukup kebersamaannya di akhir pekan dengan privat yang diberikan olehnya. Dia, bukan pria yang cukup baik. Dia masih jauh dari kata mapan.
Tiba-tiba, ia ingat satu hal. Setelah kelulusan, bukankah dia tidak akan bertemu sesering ini dengan gadis pujaannya ini? Melakukan yang terbaik, yang dia bisa. Apa salahnya?
Dengan bergegas, ia melajukan motor sport merahnya, menuju tempat di mana gadis itu berdiri sekarang. Gadis, ya, Donghae lebih suka menyebutnya seperti itu. Perbedaan umur yang tidaklah jauh dan juga wajah gurunya itu yang sangat tidak sesuai dengan umurnya. Membuatnya, kadang percaya. Gurunya itu… adalah masa depannya, kelak.
Heejung terkejut saat melihat apa yang ada di depannya ini. Donghae, muridnya? Kenapa jam segini masih berada di sini? Batinnya. Oh, mungkin Donghae hanya sekedar lewat karena habis berkumpul dengan teman se-gengnya. Atau mungkin, dia barusan mempersiapkan acara sekolah, untuk perpisahan. Dia kan termasuk panitia acara, kan?!
“Naiklah,” perintah Donghae. Helm masih menempel di kepalanya, tapi, kaca sebagian telah di buka, menyisakan mata tajamnya saja. Demi apapun. Heejung terperangah, melihat betapa sempurna, muridnya ini. Tampan, dan juga terlihat sangat keren.
Jantungnya bertalu dengan hebat. Apa? Jantung? Kenapa seperti ini? Aku bukan siswi SMA lagi, masa itu sudah lewat, bukan? Heejung, buka mata lebar-lebar. Batinnya mengingatkan.
“Tapi aku sedang menunggu—“
“Sebentar lagi hujan. Apa kau ingin kedinginan di sini.?” Heejung terdiam. Siwon belum membalas pesannya. “Naik. Dan pakai ini.” Donghae melemparkan helm pada Heejung dan seketika ia menangkapnya.
Beruntung Heejung tidak memakai rok kali ini. Dia memakai celana panjang, yang pas melekat menunjukkan kaki jenjangnya. Heejung sudah siap. Dan Donghae tersenyum dengan smriknya.
“Pegangan padaku,” perintah Donghae lagi. Dan Heejung melihat sekelilingnya. Siapa tahu, ada yang memergoki nya. Beruntung sudah sepi. Ia ragu-ragu mel*ngkarkan t*ngannya pada p*rut Donghae. Tapi, memang keadaan motor sport seperti ini—jok menurun. Hingga d*danya men*mpel pada p*nggung Donghae. Sungguh, ini membuatnya semakin gugup.
“Jangan berpikiran m*sum.” kata Heejung pelan. Memperingatkan Donghae.
“Ya, ampun. Tidak akan, Bu.” Donghae menggoda Heejung, dengan memainkan nada bicaranya, apalagi kata ‘Bu’
“Tapi, aku mungkin sedikit, tegang.” lanjut Donghae pelan. Heejung terkejut. Mendengar apa kata Donghae barusan.
“Donghae!” pekik Heeujung saat ia hendak protes, motornya melaju tanpa ia sadari. Ia meng*ratkan tang*nnya pada p*rut Donghae. Membuatnya tersenyum penuh arti dibalik helmnya.
Heejung terkesiap saat ia sedang asyik m*nikmati p*nggung Donghae. Tiba-tiba Donghae, menepikan motornya. Hujan mulai turun dengan deras. Membuka helmnya dan juga helm Heejung. Donghae merapikan rambut Heejung, dengan ekspresi yang entah. Heejung sendiri , bingung dibuatnya. Perasaan macam apa ini? Gugup masih melandanya.
“Maaf, aku tidak membawa mantel.” ucap Donghae, menyesal. “Aku selalu, menerobos hujan tiap kali hujan turun.” lanjutnya, kini menatap ke depan. Menyaksikan beberapa anak kecil bermain air, yang menggenangi tepian jalan.
Heejung menatap Donghae dari samping. Begitu sempurna rahang pria ini. Begitu tampan. Apa? Pria?!! Dia muridmu, kau tahu?
“Ke—kenapa menerobos, hujan? Kau tidak takut akan sakit—“
“Tidak. Lagi pula, jika aku sakit. Ada sedikit keuntungan dariku. Kakak, akan meluangkan sedikit waktunya untukku.” jawabnya lemah. Heejung sedih mendengarnya. Donghae yang tampan dan kesepian. Malang sekali.
Tenggorokannya seperti tercekat mendengar ini. Sulit sekali menelan ludah. Matanya sedikit memanas.
“Kau, tidak boleh begitu. Bagaimanapun juga, kesehatanmu lebih penting, Donghae.” ujar Heejung. Donghae menoleh ke arahnya.
“Kau mencemaskan, aku?” dia tersenyum menggoda. Heejung salah tingkah. Raut wajahnya memerah.
“Ayo…”
Belum sempat ia memulihkan wajahnya yang memerah, Donghae menariknya ke jalan, hingga air hujan kini membasahi keduanya. Heejung berteriak pada Donghae, tapi justru dia mengabaikan teriakan protes Heejung. Donghae tetap menggenggam tangannya, hujan-hujan berdua dengan tawa yang menghiasi keduanya, karena bermain air. Ini, tidak pernah terjadi dalam diri Heejung, sebelumnya. Ia merasa bahagia. Melihat tawa Donghae. Melihat betapa lepasnya mereka berdua tertawa. Seperti tidak ada yang menghalangi mereka. Bahkan status mereka berdua.
Donghae tiba-tiba m*meluknya. Erat. Hujan masih turun. “Kenapa, kau bisa membuatku seperti ini…” gumam Donghae. Nada suaranya terdengar sangat sedih. “Aku, tidak salah kan? Perasaan ini, tidak mungkin salah…”
“Donghae. Apa yang kau bicarakan—“ suara Heejung pelan, walau suara hujan mendominasi tapi tetap Donghae bisa mendengarnya. Donghae meraih wajah Heejung dengan kedua tangannya.
“Aku benci semua ini. Aku benci perasaanku padamu. Kau tahu, sejak kau melihatku menangis di rooftop gedung sekolah. Sejak saat itu, aku menganggapmu sebagai musuhku. Kau tahu, kelemahanku. Kau satu-satunya yang merasa tidak tertarik dan sayang padaku. Aku membenci itu. Hingga, kau selalu hadir di dalam mimpiku setiap malam. Menganggu pikiranku, setiap saat. Setiap aku bernafas.” Donghae tetap menatapnya. Dia bergetar. Apa yang harus Heejung lakukan, muridnya mengatakan bahwa dia hadir di dalam mimpinya? Apa ini? Jantungnya makin berdebar dengan kencang.
“Aku sudah menepisnya, dengan membencimu. Setiap hari, membuatmu kesal dan marah padaku. Tapi—tapi aku selalu merasa sedih jika melihatmu menangis. Kau menangis karena aku dan kau ingin berhenti mengajar, kan?”
Heejung menelan ludahnya dengan susah payah. Dia tercengang dengan penuturan Donghae, yang mengejutkannya.
“Tapi, rasa benci itu hanyalah kamuflase dari perasaanku. Aku hanya ingin kau menyayangiku. Aku ingin kau perhatian padaku, selayaknya gadis-gadis lainnya.”
“Donghae… aku…”
“Aku tahu! Aku tahu! Ini keliru, ini salah, kan?” wajah Donghae terlihat kacau, terluka. Dan sedih… dia merasa rapuh saat ini. Dia juga menyayangi Donghae. Wajarkan, seorang guru menyanyangi muridnya. Tapi… ada perasaan lain… Donghae begitu perhatian. Membuatnya menghangat jika mengingat segala perlakuan Donghae padanya.
“Perasaanku, lain padamu.” jelas Donghae, “Aku, tidak menganggapmu sebagai seorang guru. Kau, gadis yang mengagumkan, Kim Heejung.”
DEG! Donghae, muridnya baru saja menyebutkan namanya. Dadanya bergemuruh. Tatapan Donghae masih menguncinya. Lekat. “Biarkan aku menci*mmu—“
Belum sempat dia protes, b*bir lembut Donghae sudah membungkam b*birnya. Dinginnya air hujan, kini tidak terasa. Hanya kehangatan b*bir Donghae yang ada di permukaan b*birnya. Membangkitkan gelenyar aneh dalam dirinya. Gila! Dia di c*um oleh muridnya, sendiri. Betapa kurang ajarnya. Di jalan, dalam keadaan hujan? Basah kuyup. Heejung memejamkan matanya, menikmati his*pan lembut b*bir Donghae, yang bercampur dengan air hujan. Tangan Donghae semakin menarik wajahnya, menc*umnya lebih dalam.
Apa dia bisa marah? Dia akan marah dengan Donghae? Tapi, c*uman ini menggetarkan hatinya. Begitu intens. Sangat dalam, dan dia menikmati. C*uman. Ini.
Terengah-engah mereka berdua. Heejung mengambil nafas sebanyak-banyaknya saat tautan b*birnya terlepas. Ia kehabisan oksigen. Donghae masih di depannya. Memegang wajahnya dengan kedua tangannya. Begitu dekat dengannya. Donghae juga sibuk mengambil oksigen. Dia juga terengah.
“Kau, tidak menamparku?” bisik Donghae dengan senyum mengembang. Heejung memerah. Dia harus berkata apa?
“Kau lemas, sehingga tidak kuat untuk menamparku?”
TIDAK. Batin Heejung menjerit.
Donghae melepas jaket hitamnya, memakaikannya pada Heejung. Men*tupi t*buh Heejung yang bas*h, hingga menampilkan l*kuk yang mengg*danya. Guru atau gadis yang baru ia c*um di jalan, di tengah hujan. Brengsek sekali, dirinya?
“Ayo, pulang.” Heejung bergerak menjauh dari Donghae. Sebenarnya ia menyembunyikan wajah merahnya. Tapi, Donghae malah menatapnya sedih. Apa dia sudah salah, mengungkapkan apa isi hatinya.
Mereka tiba di depan rumah Heejung yang sederhana. Heejung melepas helm, begitu juga Donghae. Mereka berdua diam. Ada perasaan aneh, kini melanda mereka berdua. Terutama, Heejung. Perasaannya, berbunga-bunga. Tidak. Ini salahkan? Apa iya, dia mempunyai perasaan dengan muridnya. Pria yang usianya, masih remaja? 18 tahun, sedangkan dia 23 tahun?
“Masuklah, dulu. Minum teh, kau basah sekali.” Heejung menawarkan diri. Bagaimanapun, juga dia tidak mau menjadi seorang yang jahat bukan.
“Kau tidak marah denganku—“ Heejung mendongak, mendengar Donghae mengatakan itu barusan. Tentu saja. Ya! Aku marah! Kau menci*mku di jalan. Di tengah hujan, dan aku tidak berdaya, olehmu. Padahal kau masih di bawahku? Batinnya melotot.
Tapi, lihatlah. Muridnya ini begitu tampan dengan tampilan basah seperti ini. Dan dia, baru saja menciummu! Kau suka, itu kan?!!
“Untuk apa?” tanya Heejung, gugup.
“Aku menci*mmu? Dan, aku juga sangat menyukaimu—“ katanya bersungguh-sungguh dan terlihat tulus.
APA! Batin Heejung memekik? Menyukai? Gila! Apa dia sinting? Tapi, kau juga menyukainya kan, Heejung?
“Aku perlu mengatakan ini. Besok senin, aku ujian kelulusan. Aku perlu meyakinkan semua ini.” Donghae mendekat ke arahnya. Oh, tidak bagaimana kalau ke dua orang tuanya mendengar ini?
“Ini. Lebih dari yang kau tahu!” tegasnya. Matanya berkilau, menunjukkan kesungguhan.
“Donghae, ini begitu—“
“Tidak perlu kau pikirkan untuk menjawabnya. Aku tahu. Aku tahu. Kau mempunyai kekasih. Aku, masih 18 tahun, aku masih remaja, bukan pria yang kau inginkan. Kau, tidak usah—“
Suara mobil menghentikan pembicaraan serius Donghae. Seseorang keluar dari Audy mewah itu, dan berjalan cepat menuju mereka berdua. Itu, Siwon.
“Ya, Tuhan! Apa yang kau—“ Siwon terkejut melihat penampilan Heejung yang basah kuyup, “Kau kehujanan?” lanjutnya tergagap.
“Oh, maafkan aku… aku sibuk di kantor. Ada rapat sialan, yang mendadak.” meraih Heejung untuk di peluknya. Tapi, justru Heejung tidak mendengar alasan Siwon. Tatapannya tertuju pada apa yang sedang berdiri menatapnya, dengan sendu. Raut wajah sedih, bercampur marah.
Seketika darah Donghae berdesir, melihat gadis yang di cintainya, berada dalam pelukan pria lain. Bukan pria lain, pria ini kekasih dari Heejung. Panas membara di hatinya. Ia, ingin menarik Heejung. Tapi, dia siapa? Hanya murid SMA-nya saja, kan? Dia jauh berbeda dengan pria kekasih gurunya ini. Sangat jauh…
“Ayo, masuk. Kau harus mengganti ini segera, sayang kau kedinginan.” Siwon meraih Heejung dan menuntunnya masuk. Heejung berbalik, menatap Donghae. Muridnya yang tampan, menatapnya nanar. Kedinginan. Ya, Tuhan. Ia tidak bisa bergerak untuk menghindar dari pelukan Siwon yang kini menggiringnya masuk. Donghae masih diam di tempatnya. Menyaksikan dia, masuk ke dalam. Dan menghilang di balik pintu. Hatinya sakit, melihat Donghae seperti itu.
Sejak saat itu, Heejung selalu memikirkan lebih, lebih Donghae. Donghae, juga sedikit lain padanya. Jarang mengirimi pesan, sekedar menyapa atau mengingatkan makan padanya. Muridnya itu, bahkan tidak menelponnya lagi. Heejung cemas. Kenapa Donghae? Apa dia baik-baik saja. Tapi, melihat Donghae mengikuti ujian, dia sedikit lega. Walau tidak bertegur sapa.
Sejak, ujian Sekolah. Otomatis, dia sudah tidak atau jarang bertemu dengan Donghae, karena aktifitas kelas tiga, sudah selesai. Tapi, ia senang jika ada perkumpulan panitia, Donghae ikut dalam panitia untuk acara perpisahan sekolah. Entah, kenapa dia selalu mencuri pandang pada muridnya, ini.
Hingga, akhirnya Donghae memberanikan diri. Mendekatinya, di acara rapat terakhir panitia perpisahan. Hanya berdekatan saja. Membuat jantung Heejung hendak keluar dari tempatnya. Betapa, hampir gila dia karena tidak bisa bercengkrama dengan Donghae, beberapa akhir-akhir ini. Bahkan sudah dua minggu lamanya.
Di ruangan ini, hanya mereka berdua. Donghae dan dirinya.
“Merindukanmu…” gumam Donghae, sedikit mununduk. Heejung menghangat mendengar kata Donghae barusan. Apa? Dia kembali seperti murid SMA yang sedang berbunga-bunga? Astaga, Heejung! Sialan, wajahmu memerah.
“Jaketmu… masih di tempatku.” gumam Heejung, mengabaikan apa kata Dongahe barusan. “Kapan, kau akan—“
“Simpan saja, dulu.” potong Donghae cepat. “Mau, makan siang?”
“Eh?” Heejung tergagap. Ini, bukan kebersamaan pertama kali dengan Donghae, untuk makan siang? Tapi, dia sekarang sangat gugup. “Di mana—“
“Sayang!!!” pekik seseorang membuat Heejung dan Donghae menatap ke depan, seorang gadis tengah berlari ke arah Donghae. “Kau ke mana saja. Aku lapar, makan siang ya?” gadis ini bergelayut manja di lengan Donghae. Donghae dengan wajah biasanya. Menghardikkan bahu. Gadis itu salah tingkah, mengetahui, ada seorang guru di sebelah Donghae.
“Ah, guru Kim. Maaf, aku tidak—“
“Tidak apa-apa. Aku pergi dulu…” Heejung merasa hatinya sesak. Donghae, masih saja sama. Lalu apa pengungkapan isi hatinya kala itu. Hingga membuat Heejung terus memikirkannya? Heejung melewati bagian belakang Donghae dan Jihyun—kekasih Donghae, agar wajahnya yang menahan rasa cemburu tidak di ketahui oleh Donghae. Tapi…
Tangannya di tahan oleh Donghae. Tangannya, di tahan oleh. Di genggam erat. Heejung terkejut. Donghae menggenggam erat tangannya, di saat ia bersama gadis lain. Muridnya juga? Donghae bahkan tidak menatapnya—masih menatap ke depan, sedang Heejung di belakangnya. Hanya genggaman tangannya yang semakin mengerat di rasa oleh Heejung, saat ini. Seperti Donghae menandakan. Tetap di sini. Aku ingin bersamamu. Aku tetap padamu.
Heejung merasakan sengatan listrik menjalar ke seluruh tubuhnya. Ini tidak mungkin, hanya sentuhan tangan, bisa seperti ini efeknya? Ingin sekali, dia menyentak tangan Jihyun yang masih menggelantung bebas di lengan Donghae dan kenapa kepala gadis itu di rebahkan di bahu Donghae??? Sialannya lagi, Donghae masih menggenggam erat tangannya. Tidak mau di lepaskan.
***
Heejung tersadar dari lamunannya saat Donghae menc*um pipinya. Heejung merona seketika dan Donghae tersenyum menatapnya. Senyum yang membuat Heejung merasa hangat.
“Jihyun, mencarimu… kau tidak turun.” ajak Heejung sedikit gugup. Donghae menatap ke depan lagi. Menghembuskan nafas panjangnya. “Kau, ada masalah?” tanya Heejung hati-hati.
“Ini…” Donghae mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah kotak mungil, terbungkus kado warna merah. Heejung menerimanya dengan hati-hati…
“Apa?” tanya Heejung penasaran.
“Kau, bukannya ada acara besok malam?” tanya Donghae mengabaikan pertanyaan Heejung. Heejung menunduk, sedih mengingat acaranya dengan Siwon. Siwon dan keluarganya akan melamarnya. Tapi…
“Ya.” jawabnya lemah.
“Itu, hadiah ulang tahun. Sebenarnya, besok aku akan memberikannya. Tapi—“
“Apa isinya?!” Heejung memotong perkataan Donghae. Ia tidak mau melihat Donghae sakit, melihat raut wajah Donghae yang membuat hatinya seperti dihantam sesuatu yang begitu menyesakkan.
“Aku boleh membukanya?”
“Jangan sekarang.” Donghae memperingatkan. Kini, mereka bertatapan. Entah sorot mata Donghae kali ini sulit di artikan oleh Heejung. Heejung berdesir seketika saat Donghae menggenggam tangannya erat.
“Ulang tahunmu, kan nanti malam…”lanjut Donghae. “Bukalah, saat tepat jam dua belas… aku akan menelponmu, nanti malam.” suara Donghae terdengar pelan.
“Mungkin, telepon terakhirku… karena besoknya, kau sudah menjadi milik orang lain. Aku akan—“
“Donghae…” potong Heejung, wajahnya memanas. Air mata yang ia tahan ingin rasanya segera keluar. Donghae menatapnya sendu. “Jangan…”
“Aku… aku harap. Kau berbahagia…” Ucapnya pelan. Sedih dan terlihat kacau. Heejung menggeleng. Tumpah sudah air mata yang ia tahan, mengalir di pipinya. “Kau, mencintainya dan dia juga mencintaimu… aku juga mencintaimu, tapi—“
Heejung menggeleng lemah mendengar ini semua. Dia bingung. Dia besok akan di lamar, keluar Choi. Apa dia akan membatalkan ini semua, demi cintanya pada muridnya ini? Apa kata orang tuanya nanti? Apa dia akan mencoreng muka kedua orang tuanya hanya karena, cintanya yang di anggap bodoh?
“Hey. Jangan menangis…” Donghae menangkup wajah Heejung dengan kedua tangannya, lalu mengusap air mata Heejung dengan jarinya.
“Kita, masih bisa bertemu, kan?” Heejung terisak. Donghae menggelengkan kepalanya. Dia belum memberitahu pada Heejung, “Kenapa? Kuliahmu, di Seoul University. Itu tidak—“
“Tidak mungkin…. kita bertemu seperti sekarang ini.” elak Donghae, ia ingin memberitahu gadis ini bahwa, dia akan—
“Apa, Jihyun dan kau—“ Raut wajah Heejung tampak terkejut dan terlihat sangat sedih. Donghae menggeleng. “Donghae, kalian berdua—“
“Tidak!” potong Donghae kemudian menarik tubuh Heejung kedalam pelukannya. Ia terisak di bahu Heejung. Bagaimana dia mengatakan dia akan pergi untuk melanjutkan kuliah di London? Dan besok Heejung akan di lamar oleh kekasihnya. Dia menumpahkan segala kekacauan hatinya dengan memeluk erat Heejung. Dia tidak bisa memiliki, gurunya lagi. Tidak bisa.
“Hidup dengan baik, aku ingin kau terus berbahagia. Kau gadis yang luar biasa dan aku mencintamu…” ucap Donghae menciumi rambutnya. Menghirup aromanya, seperti tidak akan bertemu dengannya lagi.
“Jangan katakan itu, ku mohon.” bisik Heejung terisak. Donghae melepas pel*kannya dan meraih wajah Heejung untuk lebih dekat dengan wajahnya.
“Katakan padaku, kau juga mencintaiku, kan?”
Heejung terkesiap. Dia ingin mengatakannya. Tapi…
“Katakan, aku mohon…” bisik Donghae di depan wajahnya.
“Donghae, kita sangat berbeda, kau—“
“Aku tidak peduli. Aku mohon….”
“Aku tidak bisa…” Heejung memejamkan matanya. Ia sakit mengatakan ini. Tapi, besok adalah saat keputusan yang tepat. Dia yakin, mencintai Donghae. Sangat yakin.
“Kenapa?” bisik Donghae lemah. Ia tahu, Heejung, gurunya juga mencintainya. Tapi, ada hal lain yang membuat gurunya itu tidak berkata jujur. Ya, dia masih belum menjadi pria yang di inginkan? Donghae tahu itu.
“Donghae… aku…”
“Ssstt… tidak perlu. Aku sudah cukup dengan seperti ini.” Heejung merasakan b*birnya telah tertutup sesuatu yang lembut dan basah. Donghae, menci*mnya kembali… begitu hangat dan hatinya kembali berdesir.
***
Heejung menimang-nimang hadiah dari Donghae. Jam 12 malam, masih lama, sekarang masih jam 8 malam. Tapi, tidak ada salahnya kan, mengintip?
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Di lihatnya. Nama Jihyun muncul. Ada apa muridnya malam begini menelponya???
“Hallo, Jihyun.”
“Ibu!!!” suara Jihyun menangis tersedu. Heejung terkejut. Kenapa Jihyun menangis.
“Donghae, Guru Kim. Donghae pergi….”
“Apa!” pekik Heejung terkejut.
***
Heejung berlari sekuat tenaga menyusuri penjuru Incheon, Airport. Membayangkan apa kata-kata yang di tulis Donghae dalam kotak hadiahnya tadi. Semuanya membuatnya menangis. Ia ingin menjerit memanggil nama itu…
Kalau kau membuka hadiah tak bernilai ini, mungkin aku sudah ada di pesawat dan menuju tempatku yang baru. Maaf, aku tidak memberitahumu. Aku sangat sedih, jika berpamitan denganmu. Demi, Tuhan. Aku sangat tidak ingin berpisah denganmu. Aku tahu, ini konyol. Tapi, aku benar-benar mencintaimu. Dan, aku harap. Kau juga, mencintaiku, Heejung-ah.
Jika kau jadi menikah. Tolong, hiduplah dengan baik. Mencintai keluargamu, dan berbahagia. Aku akan sangat bahagia, jika kau bahagia. Kau sudah bertambah usia sekarang, dan aku masih jauh lagi menuju usiamu saat ini. Tapi, percayalah. Aku, bisa menjadi pria yang kau idamkan, walau itu semua butuh proses. Kau mau menunggu ku?
Jika saja, aku lebih awal bertemu denganmu dan lahir lebih dulu dari mu. Apakah, takdir akan berkehendak lain? Aku akan selalu memikirkan ini dalam benakku.
Mencintaimu, Lee Donghae.
Heejung mengambil nafas panjang. Keberangkatan ke London? Dengan terengah dia bertanya kepada petugas di sana. Semoga belum terlambat. Semoga. Tapi, tiga patah kata dari petugas tersebut membuat wajahnya pucat seketika. Kakinya lemas. Ia tidak punya tenaga. Menganga, tidak percaya. Apakah seperti ini, perjalanan cintanya?
Donghae. Dia… Dia telah pergi. Pergi meninggalkan dia sendiri di Seoul. Meninggalkan dia dengan perasaan cinta di hatinya. Pandangannya mengabur. Air mata jatuh kembali di pipinya. Mengalir deras di pipinya. Dia bersimpuh di sini. Tidak kuat berdiri. Separuh jiwanya sudah hilang… dia pergi… Donghae, murid yang sangat ia cintainya kini telah pergi.
Heejung, meremas kuat liontin kalungnya yang ada di genggaman tangannya—yang ia bawa, hadiah dari Donghae. Hadiah, terakhir, mungkin. Air matanya masih mengalir deras. Tidak peduli, orang menatapnya aneh. Di tidak peduli. Hatinya sakit mengingat semua kenangan bersama Donghae.
“Aku belum mengatakan, kalau aku mencintainya. Aku belum mengatakannya….” gumamnya dalam tangis yang begitu hebat. “Aku, mencintainya. Aku mencintainya…” menunduk dengan berlinang air mata, tidak ada yang lebih buruk dari ini. Dia seperti tidak bernyawa. Separuh raganya pergi, bersama Donghae. “Dia meninggalkan aku…”
5 tahun kemudian…
Seseorang mengamati dengan kagum dan penuh kerinduan dengan sesosok yang tengah berada di dalam kelas itu. Semua masih sama. Kecantikannya bahkan tidak memudar seiring dengan bertambah usianya. Gadis itu, tumbuh menjadi wanita yang sangat mengagumkan. Pria itu, dengan setelan Jas yang melekat pas di badan tegapnya. Tersenyum simpul mengamati semua gerak-gerak wanita yang tengah serius memberi pelajaran pada siswanya.
Dia teringat, masa-masa dia dia dulu. Masa saat dia masih berseragam dan bersama wanita itu… Kemudian, senyumnya memudar. Berganti dengan senyum masam. Menghela nafas panjang, kemudian menunduk karena, ada yang menarik-narik ujung jasnya.
“Daddy. Es climnya habis… “ ucap bocah ini dengan mulut yang belepotan dengan es krim coklat.
“Jino… katanya ingin Mommy?” Donghae mencubit pipi gembul Jino.
“Mommy!!!” pekiknya girang. Donghae segera meraih bunga mawar putih—yang ia persiapkan, lalu diberikannya pada Jino.
***
Heejung terkejut ketika di dalam kelasnya ada seorang anak kecil. Dia amat lucu. Sangat lucu. Lalu, siapa orang tau bocah lucu ini? Dan apa di tangannya? Setangkai mawar putih. Semua siswanya tampak bingung dengan hadirnya, makhluk kecil di sela-sela pelajaran mereka.
“Mommy!!” pekik bocah itu, membuat Heejung terkejut. Jino, menyerahkan bunga itu pada Heejung. Heejung ragu-ragu, dia masih bingung dengan semua ini.
“Ini, dali Daddy, buat Mommy!” kata Jino lagi. Seluruh siswanya yang berada di dalam kelas tampak menggoda Heejung. Suara gaduhpun tidak dapat di elakkan. Heejung menunduk, mendekati Jino.
“Anak manis. Siapa Mommy kamu? Aku bukan—“
“Kata Daddy, kau Mommyku!” mulut Jino membuat gerakan lucu saat berbicara. Heejung tersenyum simpul, sekaligus gemas.
“Baiklah, di mana, Daddymu sayang?” tanya Heejung.
Heejung mengikuti arah pandang bocah laki-laki di depannya ini. Pandangannya tertuju pada satu titik yang sedang berdiri, menatapnya. Dengan setelan jas formal, pria itu tampak sangat berbeda. Sangat tampan dan berkharisma. Pria itu tersenyum simpul padanya. Dia tidak pernah lupa senyuman itu. Tidak akan pernah lupa.
“Donghae…” gumam Heejung pelan. Dan matanya kini memanas. Pria itu semakin mendekat ke arahnya. Membuatnya sulit berkutik. Kakinya sulit di gerakkan. Tatapan pria itu, menguncinya. Donghae, pria itu benar. Donghae… Ia ingin menangis sekarang.
“Merindukanmu…” ucap Donghae pelan, tepat di depannya.
*** THE END ***
No comments :
Post a Comment