by risequinn
BTS’ Suga, Jimin with OC’s Kim Nayeon
AU!, Crime, Friendship, Mystery, Romance | 6.1k words | PG-17
.
Festival kami disabotase! Para pengurusnya ikut dilukai secara tidak manusiawi. Siapa yang melakukannya? Dan apa yang sebetulnya mereka inginkan?
.
Another series of The Trian Turtle: A Horrible Festival
Tidak ada yang sanggup menerima cinta seseorang tatkala salah satu anggota keluarganya—dan merupakan orang yang selama ini menjaganya dengan baik—menjadi tersangka utama dari kasus penculikan beberapa gadis dengan modus untuk menguji DNA mereka.
Hal itulah yang dirasakan oleh Kim Nayeon saat ini.
Beberapa waktu lalu, usai mereka menangkap pelaku utama dari penculikan tersebut—yang tak lain adalah kakak sulung Nayeon—Min Yoongi menyatakan bahwa ia menyukai Nayeon dan ingin gadis itu menjadi kekasihnya. Namun, Nayeon tidak berpikir banyak saat itu dan ia belum dapat menjawab apa-apa atas pernyataan Yoongi lantaran masalah yang kini mendera keluargnya.
Masalah itu menjadi sangat rumit belakangan. Orang-orang tidak terima jika anak gadis mereka dijadikan percobaan seperti itu. Terlebih, mereka tinggal di sekitar tempat tinggal Nayeon—yang kini hanya ditinggalinya dengan adik bungsunya, Kim Mingyu. Tentu, hal itu menjadikan Nayeon dan Mingyu harus menerima banyak makian setiap kali mereka keluar dari rumah, pun membuat mereka merasa cukup tertekan karena itu.
Bukan hanya di sekitar tempat tinggal mereka, hal serupa juga terjadi di kampus Nayeon dan Mingyu. Banyak orang yang mencibir, bahkan tak sedikit di antara mereka menginginkan Nayeon dan Mingyu keluar dari kampus mereka. Kendati keduanya sudah meminta maaf pada keluarga korban, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi kebencian orang-orang.
“Nay!” suara sember Jimin terdengar memanggil nama gadis Kim itu tatkala ia berjalan menuju loker. Nayeon merespons dengan menoleh sepintas, lalu kembali meneruskan langkah ke bagian loker milik fakultasnya.
Banyak orang yang membenci, namun selalu ada orang yang siap mendukung dan menyayangi. Begitulah sosok Park Jimin bagi seorang Kim Nayeon. Sahabat karibnya ini tidak pernah hengkang menghibur dan menemani Nayeon selama ia berada di kampus—dan tak jarang ketika ia di rumah—hanya untuk mendukung dan meyakinkan Nayeon bahwa ia tidaklah sendirian dan masih ada orang yang menyayanginya.
“Aku dapat undangan untuk menjadi pengurus festival tahunan kampus.” racau Jimin begitu ia berhasil menyusul Nayeon dan berhenti di sebelah loker gadis itu. Jimin juga menarik sebuah lembaran dengan amplop berwarna perunggu dari dalam tasnya dan menunjukkannya pada si gadis.
“Tumben terpilih.” balas Nayeon datar, kemudian membersihkan lokernya yang dijejali sampah-sampah plastik dan kertas. Ia sudah menyiapkan sebuah kantung dari rumah tadi karena kejadian ini telah dialaminya seminggu belakangan.
“Kurasa festivalnya akan lebih besar, jadi pengurusnya bertambah banyak.” tandas Jimin. Ia lantas membantu Nayeon membersihkan lokernya dan cukup tercengang mendapati sebuah benda yang terselip di antara tumpukan sampah itu. “Tunggu, Nay!”
Mendengar teriakan Jimin, Nayeon hanya menatapnya bingung selagi ikut memerhatikan apa yang sedang dilihat pemuda itu dari dalam lokernya. Tak lama, Jimin menarik sebuah amplop berwarna perunggu yang sama dengan miliknya dari dalam loker Nayeon.
“Kamu dapat undangan juga!” seru Jimin kegirangan, namun Nayeon justru mengangkat sebelah alisnya tak paham.
“Salah orang kali, Jim. Mana mungkin aku terpilih? Aku ‘kan—”
“Untuk Saudari Kim Nayeon dari Fakultas Kedokteran Semester 5, Calon Pengurus Festival Tahunan Kampus, di Tempat.” menyangkal pernyataan Nayeon, Jimin membaca nama penerima surat tersebut yang tertempel di bagian depan amplop dengan suara keras.
Nayeon yang mendengarnya, lekas merebut amplop itu dari tangan Jimin dan memeriksanya menggunakan kedua matanya sendiri. Dan memang benar, namanya berserta fakultas dan semesternya tertera pada bagian depan amplop. Ia juga sedikit mengingat-ingat, seseorang dengan nama Kim Nayeon dari fakultas kedokteran ada berapa banyak, namun ia tidak mendapati nama yang serupa miliknya pada semester yang sama.
Dalam beberapa saat kemudian, Nayeon membuka amplop tersebut dan membaca isinya dengan seksama.
Selamat karena sudah terpilih menjadi pengurus Festival Tahunan Kampus yang akan diselenggarakan pada 31 Desember 2017 mendatang! Tahun ini, festival akan dilaksanakan dalam tema “Lights of The Stardust”. Saudara/i diminta untuk datang hari Senin pukul 17.00 KST di kantor Badan Eksekutif Mahasiswa yang terletak di lantai empat gedung B untuk mendiskusikan rencana festival selanjutnya.—tertanda, Presiden BEM
Song Mino
Nayeon sontak diam usai membaca isi amplop yang diterimanya. Ia memandangi Jimin, sementara si karib hanya tersenyum lebar-lebar. Nayeon paham betul mengapa Jimin bisa tersenyum seperti itu. Artinya, ia tidak akan sendirian menjadi pengurus festival nanti jika Nayeon juga terpilih menjadi salah satu pengurusnya.
“Kenapa … aku bisa terpilih, setelah skandal yang belakangan terjadi?” lirih Nayeon, memasukkan kembali surat ke dalam amplop.
“Mungkin hal baik sudah datang. Maksudku, mereka memilihmu untuk membersihkan namamu dan menghindarkanmu dari makian orang-orang lagi.” tebak Jimin.
“Bagaimana jika sebaliknya?” ujar Nayeon, yang sontak membuat Jimin mengangkat sebelah alisnya. “Bagaimana jika mereka justru menjebakku dan menjadikanku bahan lelucon? Atau parahnya, mereka akan memaki-makiku dengan lebih buruk.”
“Jangan berspekulasi dulu,” itu bukan suara Jimin, maupun suara Nayeon—yang jelas-jelas memang bukan, sebab itu adalah suara seorang lelaki. “Kurasa kali ini aku sependapat dengan Jimin. Mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi kedua setelah para rektor, jadi tidak mungkin mereka melakukan hal semacam itu untuk seseorang, Nay.”
Yoongi muncul dari balik loker, dan membuat dada Nayeon bergemuruh hebat. Kedatangan Yoongi membuat kedua karib itu pun diam seraya saling melempar lirikan. Melihatnya, lelaki Min itu hanya tersenyum dan mengeluarkan sebuah benda dari dalam ranselnya.
“Aku juga dapat undangan.” ucap Yoongi pelan, tahu-tahu membuat dua sahabat itu membelalak secara bersamaan.
“Hah?”
***
“Aku tidak datang saja, ya, Jim? Perasaanku tidak enak soal ini.”
Sudah pukul empat kurang dua puluh menit, dan Nayeon sedang uring-uringan dengan Jimin soal undangan yang didapatnya tadi pagi. Gadis Kim itu tidak berniat datang dan ingin kabur setelah kelasnya berakhir. Namun rupanya, Jimin mengetahui taktik gadis itu dan menunggui Nayeon di depan kelasnya sejak pukul satu. Tampaknya, pemuda itu memang tidak mau membiarkan Nayeon melewatkan kesempatan besar ini, sementara si gadis sudah ingin mengubur diri jika sampai ia menjadi bahan bully-an orang-orang lagi.
“Ayolah, Nay! Ini belum tentu kita dapatkan di tahun-tahun selanjutnya, loh. Lagipula ya, desas-desusnya yang terpilih menjadi pengurus festival tahunan ini bukan orang-orang sembarangan.”
“Itulah sebabnya, Jim, aku tidak mau datang! Aku pulang saja, ya?”
“Tidak, tidak! Ayo, kamu harus datang!”
Jimin masih menarik-narik lengan Nayeon, sementara si gadis terus menolak dan mencoba mengempaskan tangan Jimin berkali-kali, tetapi gagal. Pada akhirnya, Nayeon menyerah. Tidak melakukan perlawanan lagi, dan mengikuti jengkahan kaki Jimin menuju kantor Badan Eksekutif Mahasiswa.
Sebetulnya, bukan hanya orang-orang yang terpilih menjadi pengurus festival ini saja yang ingin Nayeon hindari, melainkan ada seorang lagi. Nayeon betul-betul belum ingin bertemu dengannya setelah kejadian waktu itu. Pagi tadi usai bicara dengan dirinya dan Jimin saja, Nayeon buru-buru kabur ke kelasnya dengan dalih ingin belajar untuk ulangan tengah semester. Padahal sesampainya di kelas, ia hanya menelungkupkan diri di atas meja seraya merutuki dirinya sendiri.
Kini, saat jengkahannya mulai mendekati kantor BEM, dadanya mulai bergemuruh lagi. Lebih-lebih saat mengetahui semua orang sudah berkumpul di dalam, dan begitu ia masuk bersama Jimin, seluruh pasang mata menatap ke arahnya.
Ini buruk.
“O, silakan masuk dan duduk di tempat yang tersedia, Kim Nayeon-ssi, Park Jimin-ssi.” ujar sang presiden Badan Eksekutif Mahasiswa, Song Mino, di meja depan paling ujung.
Nayeon sontak menunduk dalam. Langkah kakinya hanya bergerak untuk mengikuti Jimin. Ia lantas duduk di sebuah kursi dan tidak memerhatikan sekitarnya lagi. Tangan Jimin pada pergelangannya terlepas tak lama kemudian, namun tahu-tahu Nayeon merasakan sebuah tangan lain yang menempel di atas punggung tangannya. Tanpa mau menebak-nebak lagi, Nayeon segera memandang si pemilik tangan dan mendapati Min Yoongi sedang tersenyum manis ke arahnya.
Ini lebih buruk.
“Karena semuanya sudah datang, jadi kita mulai saja, ya?” seruan Mino membuat Nayeon buru-buru mengalihkan pandangannya ke depan. Tangan Yoongi pada punggung tangannya pun terlepas perlahan-lahan, membuat Nayeon akhirnya dapat bernapas dengan lega. “Saya sengaja mengambil pengurus bukan dari anak-anak BEM saja, dan orang-orang yang terpilih di sini sudah saya seleksi dengan ketat. Jadi, saya tidak meragukan lagi kemampuan kalian.”
Pada jeda yang diambil oleh sang presiden BEM, Nayeon menyempatkan diri untuk mengamati sekitarnya. Selain Yoongi dan Jimin yang duduk di sebelah kanan dan kirinya, Nayeon dapat melihat sekitar lima belas orang lain yang berada di dalam ruangan ini. Kebanyakan memang para mahasiswa di luar organisasi ini karena wajah-wajah mereka tampak asing. Tapi, ada beberapa juga yang wajah-wajah familier milik organisasi tersebut.
Nayeon mengetahuinya karena ia sempat menjadi bagian dari organisasi tersebut selama dua semester. Ia memilih mengundurkan diri di semester empat karena merasa bebannya semakin bertambah banyak. Dan … ia tidak mengerti kenapa ia bisa terpilih untuk menjadi pengurus festival sekarang.
“Tema kita kali ini adalah Lights of The Stardust yang nanti konsepnya akan lebih mirip dengan keadaan luar angkasa; dari tata panggung, stan, dan beberapa pernak-pernik lain.” Mino kembali berbicara, membuat Nayeon fokus lagi ke dalam rapat. “Sebetulnya, saya sudah merencanakan ini sejak beberapa minggu yang lalu. Hanya saja, kita baru mendapat persetujuan lima hari lalu. Jadi, saya segera mengumpulkan kalian karena kita tidak punya banyak waktu lagi untuk mempersiapkannya.”
Rapat masih berlangsung dengan tenang. Tidak ada yang menyela pembicaraan Mino dan juga memberi usulan tentang tema serta konsep yang telah diambil. Tampaknya, anak-anak BEM sudah mempersiapkan konsep itu dengan matang. Pun, karena waktu persiapannya sangat singkat, jadi tidak ada yang memberikan usul atau tambahan.
Beberapa saat kemudian, usai Mino selesai menjelaskan seluruh konsep festival kali ini, ia dan beberapa rekannya di BEM membentuk sebuah struktur untuk seksi bidang yang akan bertugas pada festival nanti. Pada pemilihan itu, Nayeon berada pada seksi bidang dekorasi, sementara Jimin dan Yoongi berada di perlengkapan.
Selesai membentuk seksi bidang yang bertugas, rapat diakhiri oleh Song Mino. Seluruh peserta rapat mulai berjalan meninggalkan ruangan dengan saling bertukar obrolan ringan. Nayeon masih duduk di tempatnya, menunggu mereka semua keluar, baru ia bisa berjalan pergi. Ia masih belum bisa berada di tengah-tengah banyak orang selepas kejadian itu. Dan memang sepertinya ia menjaga jarak sebelum sesuatu yang tak diinginkan kembali menimpanya.
Kursi sebelahnya berderit. Nayeon buru-buru meneleng dan mendapati Jimin sudah berdiri sembari balas menatapnya. Pemuda itu mengisyaratkan agar Nayeon segera bangkit berdiri dan keluar, namun gadis Kim tersebut hanya menggeleng dan menunjuk-nunjuk beberapa orang yang masih bercengkerama di ambang pintu masuk ruangan. Jimin yang mengerti tentang kondisi hati Nayeon saat ini, akhirnya tersenyum kecil dan menekan bahu gadis itu dengan pelan.
“Tidak apa-apa, ada aku dan … Yoongi hyung. Ayo!” gumam Jimin.
Nayeon tahu memang ia duduk di sebelah Yoongi sejak tadi, tapi ia tidak menyadari jika Yoongi masih berada di tempatnya dan belum beranjak sedikitpun. Saat Nayeon memandangnya, Yoongi justru melempar sebuah senyuman yang membuat dadanya bergolak tak keruan. Sial. Min Yoongi selalu bisa membuat Nayeon macam orang ling-lung sekarang.
Lebih-lebih, ketika pemuda itu tiba-tiba berdiri dan meraih telapaknya seraya menggenggamnya dengan lembut. Tidak ada yang mampu dilakukan oleh Nayeon selain menurut dan mengikuti jengkahan kaki Yoongi yang membawanya keluar dari ruangan. Agak kurang ajar, tapi Nayeon tidak menegurnya. Ia membiarkan Yoongi melakukannya, ia membiarkan Yoongi—dan Jimin—melindunginya.
Setidaknya, Nayeon tak merasa sendirian pada saat-saat seperti ini.
***
Persiapan festival mulai dilakukan.
Yoongi mendorong troli berisi beberapa perlengkapan panggung ke halaman universitas. Beberapa orang yang ditunjuk dalam seksi dekorasi tampak sibuk menata panggung utama yang akan digunakan untuk pertunjukan musik. Yoongi ingat betul bahwa Nayeon harusnya bersama mereka karena gadis itu juga berada pada seksi bidang yang sama. Tapi, selama beberapa sekon menyisir sekitar, ia tidak menemukan Nayeon di mana pun.
“Di mana Kim Nayeon?” tanya Yoongi pada seorang pemuda tinggi—yang kemarin ditunjuk sebagai ketua seksi bidang dekorasi—bernama Oh Sehun. Pemuda itu diam sebentar selagi memandangi Yoongi. Ia lantas menunjuk sebuah arah menggunakan dagunya.
“Dia di belakang panggung ….”
Tanpa menunggu Sehun menyelesaikan ucapannya, Yoongi meninggalkan trolinya dan segera menuju ke belakang. Ia mendapati Nayeon dan beberapa gadis lain tengah membuat semacam hiasan dari karton warna-warni dan kertas mengilap. Yoongi mendesah lega. Ia pikir Nayeon berada dalam kesulitan karena harus menjadi seksi dekorasi sendirian, tanpanya dan tanpa Jimin. Tapi, kecemasannya sedikit meluntur saat melihatnya bercengkerama dengan seorang gadis—bahkan tampak bertukar tawa beberapa saat kemudian.
Yoongi kembali ke depan panggung dengan perasaan lega. Ia menuju ke arah trolinya dan menurunkan beberapa perlengkapan panggung yang dibawanya. Tepat saat itu, sebuah bunyi debuman keras menyentak perhatiannya. Bunyi itu berasal dari arah belakang panggung. Ia meninggalkan trolinya lagi dan berlari secepatnya ke sumber suara. Beberapa anak yang berada di atas panggung sontak meninggalkan pekerjaannya dan ikut berlari ke belakang, mencari tahu apa yang sudah terjadi.
Begitu sampai di belakang panggung, mereka menemukan batten1 yang digunakan untuk menggantung beberapa lampu sudah jatuh dengan lampu-lampunya pecah berserakan di atas lantai. Yoongi segera berlari mendekat dan mencari sosok yang semula duduk tepat di bawah batten itu. Namun, setelah cukup dekat, yang ia temukan bukanlah sosok itu melainkan orang berbeda yang tak lain adalah Presiden BEM, Song Mino. Pemuda itu meringis, tampak menahan sakit yang menjalar dari kakinya akibat tertimpa benda tersebut.
“Tahan sebentar.” seru Yoongi, berusaha mengangkat batten yang menimpa kaki Mino dibantu oleh beberapa pengurus festival lain dan dua orang dosen pengawas. Begitu mereka dapat menarik tubuh Mino, pemuda itu segera dilarikan ke rumah sakit universitas untuk mendapat pertolongan pertama.
Sepeninggal sang Presiden BEM yang dibawa ke rumah sakit, Yoongi segera mencari-cari sosok Kim Nayeon yang rupanya tengah berdiri cukup dekat dengan lokasi kejadian. Di sampingnya ikut berdiri seorang gadis yang tadi bercengkerama dengan Nayeon, tampangnya kelihatan shock berat. Yoongi dapat mengerti lantaran mereka duduk di sana beberapa saat lalu sebelum kejadian itu terjadi. Jelas saja sekarang dua gadis itu tampak terkejut dan tidak menyangka hal ini akan terjadi.
“Nayeon, kamu baik-baik saja?” tanya Yoongi, memeriksa tiap sisi tubuh gadis itu berharap tak menemukan luka sedikit pun dari sana.
“A- aku tidak apa-apa. T- tapi, bagaimana … itu, kenapa … Mino sunbae bisa berada di sana?” Nayeon menjawab dengan suara terbata, yang sontak membuat Yoongi meraih jemarinya lalu menggenggamnya.
“Tidak apa-apa, dia sudah dibawa ke rumah sakit sekarang. Kamu yakin baik-baik saja? Tadi kalian duduk di sana, ‘kan?”
“Benar.” gadis di sebelah Nayeon yang menyahuti pertanyaan dari Yoongi. “Ka- kami duduk di sana sebelum kejadian itu. Tapi, kami berdua diminta untuk membantu dekorasi stan oleh Wendy sunbaenim. Dan baru saja berjalan pergi, batten itu terjatuh begitu saja.”
Yoongi memandang ke belakang—ke tempat kejadian perkara. Ia kemudian mendongakkan kepalanya dan mendapati tali penyangga batten itu terlepas dari tuasnya. Ini terlalu rapi jika dianggap sebagai sebuah kecelakaan. Dan, tidak mungkin tali batten itu terlepas tanpa dikenai perlakuan apa-apa. Petugas panggung sudah memastikannya terikat kuat sehingga mengurangi risiko kejadian seperti ini terjadi. Kecurigaan Yoongi lantas dapat dipertanggungjawabkan begitu ia melihat sebuah bayangan hitam menyusuri koridor lantai dua yang memang berdekatan dengan atap panggung. Ia berencana mengikutinya, namun kehadiran Jimin di tengah-tengah mereka menggagalkan aksinya.
“Apa yang terjadi?” tanya pemuda itu, membuat Yoongi berdecak sebal.
Ketika Yoongi kembali menatap ke koridor lantai dua gedung fakultas, bayangan itu sudah raib seolah ditelan kegelapan yang mulai berangsur-angsur menjamah langit biru siang ini. Mendung kelabu menggantung rendah, siap untuk menumpahkan titik-titik airnya, tapi mereka harus tetap menyelesaikan pekerjaannya sebelum petang.
Yoongi menoyor kepala Jimin dan mendekat ke sebelah Nayeon.
“Datang terlambat setelah kejadian mengerikan yang terjadi, bisa-bisa kau dituduh sebagai pelakunya, Jim.” seru Yoongi dengan nada sarkastik yang dibuat-buat.
Mendengarnya, Jimin mendesis pelan seraya berkacak pinggang. Ia tahu Yoongi sedang berusaha membalasnya setelah kejadian sebelumnya ia menuduh Yoongi adalah pelaku penculikan dari gadis-gadis yang menghilang di kota. Yang pada kenyataannya, Yoongi menyelidiki kasus itu seorang diri usai adik perempuannya ikut diculik. Pemuda itu mengumpulkan informasi dari beberapa orang, namun Jimin menuduhnya mengetahui informasi itu lantaran Yoongi adalah pelakunya.
Menyebalkan memang. Tapi, Yoongi pikir Jimin berhak mencurigainya sebab mereka baru saja saling kenal dan pemuda bergaris Park itu tidak mengetahui Yoongi secara mendalam. Ia merasa bersyukur saat mengetahui satu-satunya orang yang percaya padanya adalah Kim Nayeon. Gadis itu sangat kuatir padanya dan menanyakan ke mana Yoongi pergi melalui pesan singkat, tapi pesan itu masuk usai Yoongi keluar dari rumah sakit sebab baterai ponselnya lowbat.
“Aku baru saja membawakan perlengkapan ke stan Fakultas Teknik, Hyung. Kau juga tahu sendiri tadi aku pergi ke sana sebelum kau membawa trolimu kemari. Kau juga yang melarangku membawakan perlengkapan kemari hanya karena kau ingin bertemu dengan Nay—”
Yoongi segera membungkam mulut Jimin sebelum pemuda itu mengungkapkan hasil perdebatan mereka tadi. Jimin memang bermulut besar, dan Yoongi harusnya tidak membiarkan pemuda ini mengetahui segala hal tentang dirinya dan perasaannya pada Nayeon.
“Kau terlalu banyak bicara, Park Jimin!” geram Yoongi selagi berbisik dengan nada keras pada pemuda itu.
Jimin hanya terkikik mendengarnya. Tampaknya, ia sudah menemukan kelemahan seorang Min Yoongi yang begitu songong ini.
“Kalian kenapa, sih?” tanya Nayeon, lantas melirik teman perempuan di sebelahnya. Mereka berdua kemudian mengedikkan bahu secara bersama-sama.
“Ti- tidak, kok. Jimin memang selalu banyak bicara.” tukas Yoongi, melepaskan telapak tangannya yang membekap mulut Jimin seraya memelototi pemuda itu dan menyuruhnya agar diam.
“Oh ya, kenalkan dia Im Nayoung. Temanku dari Fakultas Kedokteran, tapi berada di kelas yang berbeda. Dia juga anggota BEM.”
Yoongi dan Jimin hanya tersenyum seraya menjabat tangan Nayoung yang terulur pada mereka. Usai perkenalan singkat itu, mereka semua berkumpul di ruang rapat setelah Wendy—sekretaris BEM—mengumumkan sesuatu.
Harus ada yang bertanggung jawab, dan tidak ada yang menyangka bahwa festival ini akan menjadi begitu mengerikan kedepannya.
***
Hari festival telah tiba.
Seluruh persiapan telah dilakukan dengan baik. Usai kejadian yang menimpa Mino, pemuda itu dianjurkan untuk mengambil absen, sementara semua tanggung jawabnya diberikan kepada Sehun dan Wendy. Mereka berdua yang memimpin persiapan festival ini hingga hari H, hari ini. Tidak ada kejadian serupa yang menimpa siapa pun lagi, tapi satu jam sebelum pembukaan festival dilaksanakan, Yoongi dan Jimin mengalami sebuah kesulitan.
“Bagaimana ini, Hyung? Aku yakin sudah meletakkannya di sini dan benda itu tidak mungkin berjalan sendiri, ‘kan?” Jimin berbicara dengan nada panik selagi menunjukkan pada Yoongi tempat yang ia gunakan untuk meletakkan gitar melodi dan sebuah gitar bass sebelum meninggalkannya ke toilet karena perutnya tiba-tiba melilit, lalu kini benda itu menghilang.
“Tidak ada gitar lain milik klub musik ya?” tanya Yoongi, yang disambut gelengan kepala oleh Jimin. Gitar yang Jimin bawa merupakan milik Fakultas Kesenian, dan seharusnya klub musik juga punya gitar yang sama.
“Hanya ada gitar akustik, gitar melodi dan bass mereka sedang dalam perbaikan. Tadi aku sudah menemui perwakilan klub musik, dan mereka bilang gitar-gitar mereka sengaja dirusak seseorang.”
Alis Yoongi berjungkit naik. Setelah kejadian yang menimpa Mino beberapa hari silam, ini adalah kejadian aneh lain yang tahu-tahu terjadi pada saat festival mereka akan dilangsungkan. Yoongi melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya—tinggal beberapa puluh menit lagi festival ini akan dibuka. Dan ini masalah cukup besar lantaran pembukaan festival akan diisi dengan penampilan band terkenal dari Korea Selatan.
“Kita temui pihak bintang tamu dan katakan pada mereka bahwa kita mendapat sedikit kesulitan.” usul Yoongi kemudian.
“Tapi, Hyung, bukankah itu jadi tidak profesional? Bagaimana jika kita temui Sehun dan Wendy sunbae terlebih dulu?”
Yoongi terdiam selama beberapa saat, tampak memikirkan usulan dari Jimin, lantas mengangguk setuju tak lama kemudian. Mereka tidak punya banyak waktu dan harus segera menemukan jalan keluar dari masalah ini.
Namun, saat mereka berjalan tergesa menyusuri koridor, seseorang berlari dengan berteriak panik meminta tolong. Keduanya saling pandang sebelum akhirnya mengenali suara itu adalah milik Nayeon. Tepat setelah pekikannya menghilang, gadis itu muncul dengan peluh membanjiri dahinya serta darah mengotori telapak tangannya. Wajahnya begitu ketakutan, lalu ia segera menyerbu ke arah Yoongi dan Jimin.
“Kak … Kak Yoongi, to- tolong, Kak. Jim, tolong aku.” ucap Nayeon dengan suara terbata dan bergetar karena ketakutan.
“Iya, Nay, kenapa?” Yoongi yang menyahuti, meraih kedua bahu gadis itu, berharap dapat sedikit menenangkannya. Tapi, Nayeon masih gemetaran sambil terus menahan tangisnya keluar.
“Nayoung, Kak. Nayoung, dia … dia terluka. Dia berdarah. Tolong, Kak.”
“Nay, tenanglah.” Jimin ikut menenangkan Nayeon dengan menepuk-nepuk punggungnya. “Katakan Nayoung kenapa, dan dia ada di mana?” seru Jimin ikutan panik.
“Dia di toilet perempuan … dia berdarah. Tolong bantu aku membawanya ke rumah sakit.”
Tanpa menunggu banyak waktu lagi, Yoongi dan Jimin segera melesat ke arah toilet yang disebutkan oleh Nayeon. Tapi, dalam perjalanan Yoongi berhenti dan mengingat sebuah masalah lain yang belum bisa mereka selesaikan. Ia menatap Jimin yang juga sedang memandangnya dengan wajah bingung.
“Kau temui Sehun dan Wendy, katakan pada mereka bahwa gitar kita menghilang dan laporkan soal Nayoung yang terluka. Aku dan Nayeon akan membawanya ke rumah sakit.” titah Yoongi.
Jimin ingin sekali menolak dan membantu mereka, tapi kemudian ia sadar apa yang diucapkan oleh Yoongi juga merupakan hal yang penting. Jadi, pemuda itu kemudian mengangguk dan meninggalkan mereka berdua.
Yoongi dan Nayeon berlari kembali menuju toilet perempuan. Nayeon yang membuka pintu toilet begitu mereka sampai. Keduanya mendapati tubuh Nayoung tersungkur di bawah wastafel dengan keadaan lengan dan kakinya berdarah. Yoongi segera mendekat dan memeriksa luka dari lengan gadis itu. Lukanya tertutupi beberapa potongan kain, lalu ia membukanya. Ada beberapa sayatan pisau yang melukainya. Pun ia menemukan luka serupa di kaki si gadis. Dan ia bisa memastikan ini pasti ulah dari seseorang—orang sama yang ia jumpai ketika kejadian yang menimpa Mino itu terjadi. Itu bukan hantu, dan Yoongi yakin betul soal itu.
“Kurasa dia pingsan karena kehilangan banyak darah.” gumam Nayeon.
Yoongi memandangnya sekilas dan memberikan satu senyum agar gadis ini tidak lagi merasa panik. Ia melihat kaus yang dikenakan gadis itu robek di sana-sini yang berarti potongan kain yang membebat luka Nayoung adalah robekan dari kaus Nayeon.
Yoongi kemudian mengikat kembali kain-kain tersebut, lalu mengangkat tubuh Nayoung dan membawanya keluar dari toilet perempuan. Begitu keluar dari sana, ia melihat beberapa petugas paramedis dari rumah sakit universitas membawa tandu dan mendekat ke arah mereka. Yoongi lantas membaringkan tubuh Nayoung di atas tandu dan petugas paramedis itupun pergi membawa Nayoung ke ambulans yang diparkir di halaman samping universitas.
Nayeon mengikuti petugas paramedis itu dengan menceritakan apa yang sudah terjadi. Yoongi juga mengekori gadis Kim tersebut lantaran ia tidak mungkin meninggalkan Nayeon saat si gadis sedang diserang cemas seperti itu. Sampai di ambulans, Nayoung segera dikenai pertolongan pertama dan memberinya alat bantu pernapasan.
“Dia tidak apa-apa, jangan cemas. Kami akan membawanya ke rumah sakit.” ucap salah satu petugas paramedis kepada Nayeon yang sejak tadi terlihat sangat kuatir dengan keadaan teman perempuannya itu.
“Boleh aku ikut?” tanya Nayeon.
“Sebaiknya tidak. Kalian pasti sedang sibuk, ‘kan, sekarang? Nanti setelah festivalnya selesai, kalian bisa menjenguknya ke rumah sakit. Kami akan merawatnya dengan baik.”
Usai menerima penjelasan itu, Nayeon pun menurut dan mulai tenang. Yoongi berjalan mendekatinya dan merangkul bahunya. Begitu mobil ambulans berjalan menjauh, Yoongi mendengar Nayeon terisak pelan. Pemuda itu lantas memberi sebuah pelukan seraya mengusap-usap punggung Nayeon, berharap gadis itu akan segera tenang.
“Aku takut, Kak. Dia orang pertama yang mau bicara denganku setelah berita buruk yang terjadi di keluargaku. Tapi, saat dia terluka, aku tidak bisa menolongnya.” ucap Nayeon di tengah tangisnya.
“Kamu sudah menolongnya, Nay. Kamu sudah membantu menghentikan darah yang keluar, ‘kan? Jadi, dia masih bisa diselamatkan. Itu berkat dirimu.” Yoongi melonggarkan pelukannya. Ia melepaskan jaketnya. Ia juga melepas almamater yang dikenakan oleh Nayeon, kemudian memakaikan jaket itu pada tubuh si gadis. Menarik zipper jaketnya hingga ke atas—menutupi kaus Nayeon yang robek—dan menyimpan almamater Nayeon yang terdapat bercak darah.
“Kamu akan kedinginan.” Nayeon bersuara pelan, berusaha melepas kembali jaket Yoongi, namun dicegah oleh pemuda itu.
“Selama kamu nggak kedinginan, aku akan baik-baik saja.” Yoongi tersenyum, meraih telapak tangan Nayeon dan menggenggamnya. “Nah, sekarang kita bersihkan dirimu lalu kembali ke persiapan pembukaan festival.”
Nayeon hanya mengangguk, lantas mengikuti jengkahan kaki Yoongi membawanya.
***
Ini benar-benar buruk.
Masalah kembali datang dari beberapa stan yang melaporkan bahwa lampu di stan mereka tidak menyala. Jimin dan Jongin—ketua seksi bidang perlengkapan—mendatangi stan-stan tersebut dan menemukan kabel utama yang menghubungkan beberapa lampu itu terputus. Mereka beranggapan bahwa festival kali ini telah disabotase oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan sepertinya oknum itu sedang berkeliaran di sekitar mereka, mengancam akan menggagalkan festival yang mereka susun dengan begitu baik dengan melakukan hal-hal lain yang tidak terduga.
“Bagaimana jika menghubungi polisi?” tanya Jimin kepada Jongin yang tampak semakin gusar dengan kejadian-kejadian yang sudah terjadi. Belum sempat Jongin memikirkan sesuatu untuk menyetujui atau menolak usul Jimin, pekikan terdengar dari arah koridor di belakang stan yang memang dalam keadaan gelap.
Mereka berdua segera berlari ke sumber suara dan menemukan Wendy tergeletak dengan luka sayatan di bagian kakinya. Gadis itu tadi sedang ikut memeriksa kerusakan yang terjadi, sementara Sehun sedang mengurus perlengkapan musik yang dilaporkan hilang dan rusak. Jimin segera mendekat ke arah Wendy saat gadis itu menjerit sekali lagi dan mengempaskan tubuh Jimin ke lantai dengan dorongan kakinya yang tidak terluka. Namun, perlakuannya itu membuat sebelah kaki Wendy justru ikut terluka akibat pisau yang dilempar dari lantai dua gedung.
Jimin segera mendongak dan mendapati sebuah bayangan hitam melesat dengan cepat di sana.
“Tolong pindahkan Wendy sunbae ke tempat yang lebih aman. Aku akan ke lantai dua.” ujar Jimin.
“Jim, itu berbahaya!” pekik Jongin, rupanya pemuda ini juga melihat bayangan tadi.
“Aku akan ikut dengan Jimin.” seseorang yang muncul dari balik kerumunan segera melesat ke sebelah Jimin. Itu adalah Min Yoongi.
“Aku juga ikut!” seru seorang gadis yang datang bersama Yoongi, Kim Nayeon. Gadis itu sudah tidak ketakutan dan panik lagi. Justru, ia tampak paling bersemangat dan berapi-api saat ini.
“Nay, ini akan sangat berbahaya. Dia menggunakan senjata.” sahut Jimin, menolak permintaan Nayeon.
“Dia sudah melukai Nayoung, jadi aku harus menghajarnya dengan tanganku sendiri.” pungkas Nayeon berkeras. Ia berlari dengan kecepatan penuh menaiki tangga, sementara dua pemuda yang sempat mencegahnya hanya dapat mengikutinya dengan sesekali mendesis sebal lantaran gadis itu benar-benar keras kepala.
Begitu sampai di lantai dua, bayangan hitam itu tampak berdiri di pagar besi, lantas melompat ke bawah. Nayeon, Jimin, dan Yoongi segera berlari menyusulnya, namun sebuah sosok hitam lain muncul dan menghadang mereka dengan pisau yang berkilat-kilat dalam kegelapan.
Sial. Rupanya ada dua orang.
Mereka bertiga lantas beringsut mundur, membiarkan orang itu maju dan menyerang mereka. Tapi, ia juga ikut mundur—mungkin berniat kabur seperti yang dilakukan oleh rekannya yang satu lagi. Mereka manusia, dan mereka menggunakan jubah hitam panjang bertudung. Wajahnya tertutupi topeng vendetta yang tampak seram. Tapi, ketiga detektif kura-kura ini tidak merasa takut sama sekali.
Suara ribut-ribut di bawah mengalihkan perhatian mereka. Namun, tidak bagi Nayeon. Ia memanfaatkan momen yang sedang terjadi untuk menendang tangan vendetta jadi-jadian itu yang teracung ke arah mereka bertiga. Pisau dalam genggamannya terlepas dan tersungkur jatuh ke atas lantai dengan bunyi cukup keras. Membuat Yoongi, Jimin, maupun orang itu terkejut dengan perlakuan tiba-tiba dari gadis Kim ini.
“Wow, itu keren, Nay.” komentar Jimin, lantas menerjang maju dan berusaha menangkap orang itu yang mencoba kabur karena tidak punya senjata apa-apa lagi. Namun, penangkapan Jimin tidak berjalan semulus itu, ia memeroleh perlawanan dari orang itu dan akhirnya terjadi sebuah perkelahian sengit.
Jimin memukul wajah yang tertutupi topeng vendetta itu dengan tangannya, kemudian pemuda itu justru meringis karena topeng yang digunakan orang ini berbahan keras. Yoongi ikut membantu dengan menendang perutnya, lalu ia pun tersungkur ke atas lantai. Nahasnya, mereka lupa dengan pisau yang rupanya terjatuh di sebelah orang itu. Ia meraih kembali pisau itu dan melemparnya ke arah Nayeon. Namun, belum sempat Nayeon berpikir jernih, tubuhnya terasa terlempar ke samping hingga menabrak tembok.
Nyeri menjalar ke sekitar punggungnya, tapi kemudian ia merasakan leleran darah mengenai lengan jaket Yoongi yang sedang dipakainya. Darah itu merembes ke dalam dan terasa dingin saat menyentuh kulitnya. Tapi, itu bukan darahnya. Melainkan seseorang yang sedang memaku tatap ke arahnya dan orang yang sama yang telah mengempaskan tubuh Nayeon ke tembok.
“Kak Yoongi!” pekik Nayeon.
Yoongi meringis, menahan nyeri akibat pisau yang baru saja melukai pinggangnya. Nayeon segera memeriksa luka itu dan mendesah lega—tapi tetap merasa kuatir—begitu melihat pisau itu tidak menancap di sana. Benda itu hanya menggores kulit Yoongi dan menimbulkan luka sayatan cukup lebar.
Sementara Nayeon sibuk memeriksa luka Yoongi dan menekannya agar darah tak banyak keluar, Jimin menendang wajah orang itu yang masih tersungkur di atas lantai. Ia tampak terbatuk-batuk dengan tendangan yang diberikan oleh Jimin, namun masih ingin berusaha kabur. Melihatnya, Jimin memberi tendangan sekali lagi dan mencengkeram jubahnya. Ia menarik tudung orang itu ke belakang, lalu melepas topeng yang digunakan dengan sekali sentakan. Tampaknya, Jimin sudah betul-betul geram dengan kelakuannya yang dengan mudah melukai seseorang.
Tapi, kegeraman Jimin berubah menjadi sebuah keterkejutan begitu melihat wajah di balik topeng vendetta yang dikenakannya.
“Mi- Mino sunbaenim?” gumam Jimin tidak percaya, namun gumamannya itu sampai ke telinga Yoongi dan Nayeon. Mereka menoleh bersamaan dan membolakan mata begitu menjumpai wajah babak belur Mino. “K- kenapa … Sunbae? Kenapa kau ingin menghancurkan festival yang kau rencanakan sendiri?”
Mino belum menjawab. Ia masih diam sembari mengernyit kesakitan akibat tendangan Jimin di wajahnya. Suasana mendadak hening, sebelum akhirnya jeritan-jeritan keras terdengar di halaman universitas—tempat diselenggarakannya festival ini. Mereka kemudian menggiring Mino untuk turun. Jimin yang mencengkeramnya supaya ia tidak berniat untuk kabur lagi. Sementara, Nayeon membantu Yoongi berjalan menuruni tangga.
“Jangan mendekat!” pekikan itu terdengar begitu mereka sampai di bawah tangga. “Atau aku akan melukai wajah Oh Sehun yang tampan ini.”
Jimin melirik Mino di sebelahnya yang sudah tidak berdaya. Ia kemudian mengambil seutas tali dari samping stan yang gelap lalu mengikatnya dengan kuat ke tangan Mino.
“Tolong jelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi, Sunbae! Dan … siapa dia?” ujar Jimin pelan, menahan Mino di belakang stan yang gelap dan memerhatikan rekannya yang sedang menyandera Oh Sehun dengan pisau di tangannya.
Nayeon juga masih berdiri di sebelahnya bersama Yoongi. Mereka ikut menatap Mino dengan wajah penuh pengharapan. Mengharapkan Mino mau memberi tahu apa yang sebetulnya sudah terjadi di sini.
“Aku hanya membantunya balas dendam.” jawab Mino dengan suara lirih.
Mereka bertiga sontak saling pandang, lalu kembali menatap Mino kebingungan.
“Balas dendam untuk apa? Dan … bukankah kakimu terluka sewaktu kami mempersiapkan festival ini? Kenapa kau bisa ….”
“Kecelakaan itu sengaja kubuat supaya aku bisa absen. Dan … luka di kakiku tidak begitu parah karena dia menjatuhkan batten dengan sangat hati-hati. Kakiku berada di antara lampu saat itu, jadi aku masih bisa berjalan. Hanya sedikit terkilir.”
Penjelasan Mino membuat mereka bertiga melongo dan mengerjap-ngerjap tidak percaya. Semuanya … ternyata sudah direncanakan dengan baik.
“Lalu, soal penyerangan Nayoung dan Wendy … juga Sehun yang sedang disandera?” kini giliran Yoongi yang bertanya. Pemuda itu masih memegangi pinggangnya yang terluka.
Namun kali ini, Mino tidak menjawab. Ia justru menatap orang yang kini menyandera Sehun dari celah sempit stan dengan mata nanar. Seolah-olah, orang itulah yang bisa menjelaskan pada mereka semua apa yang sedang terjadi.
Suara pekikan kembali terdengar dari orang-orang yang mengerubuti adegan penyanderaan Sehun di halaman utama universitas. Nayeon dan Yoongi kemudian berjalan mendekat, diikuti oleh Jimin dan Mino di belakangnya. Mereka berhenti di belakang kerumunan karena tidak ingin memperlihatkan Mino ke banyak orang.
“Aku sakit hati, tapi tidak ada orang yang peduli. Tidak ada satupun, bahkan ketika aku dikeluarkan dari universitas ini.”
Jimin, Nayeon, dan Yoongi mengerutkan kening saat mendengar ucapan itu. Mereka menatap Mino sekali lagi, seolah meminta penjelasan atas ucapan yang baru saja mereka dengar dari orang itu. Namun, tanpa perlu mendengar jawaban Mino, mereka semua sontak tercengang karena tahu-tahu orang itu membuka topeng vendetta-nya dan memerlihatkan wajah familier yang setahun lalu sempat menjabat sebagai Presiden BEM sebelum Song Mino.
Lee Miryeong.
Ya, dia seorang gadis.
“Miryeong, kita bisa selesaikan ini dengan baik-baik. Jangan seperti ini.” suara itu adalah suara dosen pria yang belakangan menjadi pengawas festival tahunan kampus mereka.
“Tidak! Semuanya sudah terlambat.” suara Miryeong berubah serak dan dalam, seolah-olah dari suaranya sudah tersirat kemarahan yang amat besar. “Seharusnya aku sudah mensabotase festival ini dan membunuh mereka semua, tapi, si bodoh Mino itu tidak becus melakukannya.”
Semua orang sontak tercengang dengan pengakuan yang dilontarkan oleh Miryeong. Lebih-lebih saat gadis itu tergelak dengan suara keras dan mengeratkan cengkeraman tangannya pada leher Sehun. Membuat kulit pemuda itu sedikit terkiris dan mengeluarkan sebercak darah.
“Kalian tidak sadar jika Presiden BEM kalian itu berkelakuan sama denganku, huh? Dia membantuku membalas dendam, dendam pada orang-orang tidak berguna ini dan kampus sialan ini. Aku menghasutnya dan berhasil memanfaatkannya.”
“Tapi, bukankah Mino sunbae sedang terluka?” suara itu milik Jongin, memberanikan diri bertanya pada situasi genting begini.
“Terluka? Hahaha, itu rencana kami. Dia pura-pura terluka agar bisa mengambil absen dan membantuku beraksi.”
Sekali lagi, mereka semua tidak percaya dengan kenyataan yang dipaparkan oleh gadis itu. Benar-benar tidak menyangka jika sosok berwibawa seperti Song Mino akan mudah dihasut dan dimanfaatkan oleh gadis sedikit sakit jiwa ini.
“Itu karena aku mencintaimu, Miryeong.” suara Mino di belakang kerumunan membuat mereka semua mengalihkan pandangan ke arahnya. “Kau sangat depresi ketika dikeluarkan dari kampus ini karena melukai seorang anggota BEM sebelum festival tahun lalu. Kau marah pada dirimu sendiri karena Nayoung, Wendy, Sehun, dan … Nayeon tidak mendukungmu. Jadi, aku datang untuk membantumu. Aku ingin menolongmu tapi kau justru memanfaatkanku.”
Pengakuan dari Mino membuat Nayeon sedikit terlonjak. Bukan hanya gadis itu, tapi Jimin dan Yoongi pun sama terkejutnya. Nayeon memang anggota BEM selama dua semester, lalu ia memutuskan untuk mengundurkan diri di semester empat kemarin. Ia sudah berada di semester lima sekarang, dan memang kepergiannya dari BEM—selain ia mulai sibuk—adalah karena masalah internal yang terjadi di sana.
Masalah itu bermula saat Miryeong mengusulkan konsep festival tahunan kampus, tapi Jaebum menolak konsep itu dan mengoreksinya. Semua orang menyetujui usul Jaebum dan setelah itu Miryeong mengamuk. Ia sengaja menyenggol tubuh Jaebum dari atas panggung saat persiapan festival, hingga pemuda itu terguling dan kepalanya membentur pavement. Jaebum mengalami gegar otak, dan orang tuanya menuntut agar Miryeong dikeluarkan dari universitas.
“Kau yang terlalu bodoh, Mino. Itu bukan salahku jika aku memanfaatkanmu.”
Ugh, wanita ini memang masokis.
Nayeon melirik ke arah Jimin, lantas menyenggol lengannya. Sementara, ia membisikkan sesuatu kepada Yoongi dengan tidak mencolok. Nayeon lantas memberi isyarat untuk Jimin agar mengikutinya. Mereka mengendap-endap pergi, meninggalkan Yoongi yang sedang terluka bersama Mino. Tapi, meski terluka begitu, pemuda itu masih dapat diandalkan. Ia lantas mencengkeram tangan Mino yang terikat dengan tampang sok yang dibuat-buat.
“Pancing dia supaya terus bicara denganmu, sementara Nayeon dan Jimin akan menyelamatkan Sehun.” bisik Yoongi.
Mino mengerti dan mulai berbicara lagi.
“Apa kau tidak mengerti arti kata dicintai dan dipercayai?” Mino yang berbicara, tapi rasanya hati Yoongi ikut tertohok mendengarnya. “Itu artinya aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Kita sama-sama saling mengerti dan memahami. Kupikir kita memang seperti itu, Miryeong-a.”
“Jangan bicara omong kosong!” Miryeong tampak geram. “Aku tidak butuh cinta dari orang sepertimu. Kau, sama saja dengan mereka semua. Kau hanya pura-pura, Mino!”
“Tidak!” tandas Mino cepat. “Aku mengerti dirimu, Miryeong. Semuanya! Apapun yang orang lain tidak mengerti tentangmu, aku mengerti. Karena itulah aku mencintaimu dan mau membantumu. Aku bahkan tidak peduli pada posisiku sebagai Presiden BEM. Aku hanya peduli denganmu.”
Mata Miryeong tampak berkaca-kaca, sementara Sehun yang menjadi sanderanya mulai pucat karena sulit bernapas. Nayeon dan Jimin tahu-tahu muncul di belakang gadis itu tanpa mengundang curiga. Seluruh mahasiswa yang berkerumun sempat terkejut dengan kelakuan mereka berdua, namun mereka mencoba untuk tampak biasa-biasa saja karena tidak ingin mengundang perhatian dari gadis itu.
Cengkeraman tangan Miryeong melonggar, tapi tetap membelit leher Sehun dan mengarahkan pisaunya di sana. Begitu melihat bahu Miryeong yang semula tegang kemudian sedikit melorot, Nayeon memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik tangan si gadis ke belakang. Menguncinya, lantas memukul jatuh pisau yang sedang digenggamnya.
Jimin bergerak maju, menendang pisau itu ke arah mana saja agar tidak melukai banyak orang. Sehun yang terbebas segera meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan berjalan sempoyongan menjauhi sosok Miryeong.
Kuncian Nayeon rupanya dibalas dengan sebuah tendangan yang mengenai kakinya. Ia beringsut mundur dan gadis itu terlepas. Jimin yang menghadangnya sontak menjegal kaki Miryeong. Gadis itu tersungkur ke pavement dan pemuda itu segera mengikat kaki serta tangan Miryeong menggunakan tali yang dipungutnya saat mengendap-endap ke belakang gadis ini tadi. Miryeong memberontak, ia bahkan meludahi Jimin dan berusaha menendang-nendangnya.
Namun, perlawanannya berakhir di sana. Segerombol polisi masuk ke halaman universitas seraya menodongkan pistol ke arah gadis itu. Beberapa di antara mereka menyergap Mino, lalu membawanya ke mobil polisi. Kemudian, Miryeong diangkat oleh beberapa orang polisi dengan mulutnya ditutupi lakban karena ia terus mencoba meludahi siapa pun.
Yoongi lantas berjalan tertatih mendekati Nayeon, sementara Jimin langsung berlari untuk membasuh mukanya yang diludahi oleh Miryeong. Sekembalinya Jimin, mereka mendapati seorang inspektur polisi berjalan mendekat seraya memasang senyum lebar-lebar. Mereka bertiga tentu mengenalinya, sebab sebelum kejadian ini mereka sudah pernah bekerja sama dengan pria paruh baya itu.
“Senang bertemu dengan kalian lagi, The Trian Turtle.” suara inspektur polisi itu tampak riang, sementara mereka bertiga membungkuk seraya mengerutkan keningnya.
“The Trian Turtle?” Nayeon mencoba bertanya, yang dibalas dengan kekehan tawa dari inspektur polisi tersebut.
“Kalian bertiga, bukannya kalian adalah tiga kura-kura lapuk?”
Mendengarnya, mereka bertiga sontak mendesis bersamaan. Nayeon menyenggol lengan Yoongi dan memberengut pada pemuda itu.
“Ini pasti gara-gara kamu, ‘kan, Kak? Kita bertiga jadi dipanggil kura-kura sepertimu begini?” tukas Nayeon tidak terima.
“Benar, ini pasti gara-gara Yoongi hyung.” seru Jimin membenarkan.
Sementara, yang dipojokkan hanya mengedikkan bahu tidak peduli.
“Setidaknya nama itu tidak buruk-buruk amat untuk geng kita, ‘kan? Terima kasih, Inspektur. Namanya sangat bagus.”
Inspektur polisi itu hanya tersenyum. “Kalian melakukan yang terbaik hari ini. Semoga lain kali kita bisa bertemu dengan suasana yang lebih santai.” ujarnya lembut, menepuk bahu mereka satu persatu dan membuat mereka bertiga memamerkan cengiran lebar.
“Kami juga berharap begitu.” jawab Nayeon dengan senang.
Beberapa saat setelahnya, inspektur polisi itupun pergi dari universitas mereka. Yoongi, Nayeon, dan Jimin akhirnya dapat bernapas dengan lega. Masalah hari ini telah selesai. Mereka kemudian berbalik dan mendapati anak-anak yang berkerumun tadi, kini masih berkerumun dan memandangi mereka bertiga. Nayeon melirik Jimin dan Yoongi yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Pun, dua pemuda itu ikut melirik dan memandangi mereka takut-takut.
Namun, mereka semua justru tersenyum bangga pada ketiganya dan meneriakkan sesuatu secara bersamaan.
“You did well!”
.
.
.
fin.
[1] Disebut juga kakuan. Perlengkapan panggung yang dapat digunakan untuk meletakkan atau menggantung benda dan dapat dipindahkan secara fleksibel.
No comments :
Post a Comment