Vision of Love (When You Believe)

  No comments

Judul : Vision of LOVE (When You Believe)
Author : Adelia Tania Sari
Genre : Romance, AU,  Novela
Ratting : PG-16

Setelah sekian lama gak ngelanjutin. akhirnya Vision of LOVE resmi di lanjutin lagi, hehe. Mohon maaf untuk yang ngerasa blog ini punya author yang moody (Kadang nulis kadang enggak). Oke, semoga kalian terhibur ya.
FF ini bukan ide orisinil dari aku. Mungkin, jalan ceritanya banyak yang sama tapi setiap diksi dan alur yang dibuat itu punya aku sendiri. Terimakasih buat yang udah baca. Enjoy ya guys.
Sorry for typo
Bangun di pagi hari bukanlah hal yang paling Kyu Hyun senangi. Penyebab utamanya adalah kurangnya waktu tidur malam yang sangat ia butuhkan sebelum menjalani hari-harinya yang sibuk. Kyu Hyun enggan untuk bangun, ia menggerakan tubuhnya yang kaku dan kembali tidur. Ia benar-benar hampir terlelap lagi jika saja suara celotehan Hyun Ji tidak membuatnya terkejut. Kyu Hyun memaksakan diri untuk membuka mata dan duduk.

Ya. Kyu Hyun ingat bahwa saat ini ia tidak berada di rumahnya. Ia harus menginap karena Hyun Hae menginginkannya. Bukan, bukan menginginkan dalam artian itu, Kyu Hyun harus menginap karena Hyun Hae pikir jika Kyu Hyun menyetir dalam keadaan menggantuk maka Kyu Hyun akan mengalami patah tulang, hidung bengkok dan beberapa cedera serius yang tidak ingin Kyu Hyun bayangkan.
Menggemaskan, wanita itu membuatnya tersenyum dengan mata setengah mengantuk.
“Kau sedang apa?” Hyun Hae menegurnya. Wanita itu baru saja keluar dari kamar sembari menggendong Hyun Ji didepan tubuhnya dengan menggunakan alat menggendong baby scoots.
Kyu Hyun berdeham, ia berpura-pura menguap dan merentangkan kedua tangannya keudara sebelum menjawab, “Tidak apa-apa. Aku hanya melakukan straching.” Dia berbohong.
Hyun Hae tidak ingin mendebat, ia pergi kedapur untuk mengambil segelas air dan menyerahkannya pada Kyu Hyun. “Minumlah.”
“Terimakasih,” balas Kyu Hyun. Ia mengeguk air itu dan meletakan gelasnya diatas meja. “Kau sepertinya tidak tidur nyenyak tadi malam? Aku mendengar langkah kakimu dari dalam kamar. Apa yang kau lakukan?”
Hyun Hae mengernyit, bagaimana bisa dia tau?
Hyun Hae memang tidak bisa tidur sejak pelukan tiba-tiba yang Kyu Hyun berikan. Tidak terhitung berapa kali Hyun Hae berjalan mondar-mandi di dalam kamarnya dengan harapan ia lelah dan bisa tidur. Tapi tetap saja tidak bisa. Ia masih bisa membayangkan bagaimana bibir Kyu Hyun berada diatas kepalanya. Hyun Hae bahkan terus-menurus mengusap kepalanya berulang-ulang tadi malam. Sialan, Kyu Hyun tampaknya mulai kembali mengacaukan otaknya.
Oh, jangan biarkan itu terjadi Kim Hyun Hae. Pikiran tentang banyak rasa sakit yang akan ia terima jika Kyu Hyun hanya mempermaikannya seperti dulu.
Jadi, Hyun Hae sekarang tidak ingin membahasnya dan mencoba mengalihkan Kyu Hyun dengan pertanyaan baru, “Kau lapar? Aku akan memasakan sarapan untukmu.”
Kyu Hyun mengusap wajahnya dan menguap sekali lagi. “Aku ingin tapi sepertinya aku tidak bisa lama-lama. Satu jam lagi aku harus segera berangkat ke kantor.” Kyu Hyun mengambil kunci mobilnya, meraih jaket yang ada di lengan sofa dan berdiri.
Menjaga jarak dengan Kyu Hyun seharusnnya menjadi suatu hal yang harus ia lakukan. Hyun Hae bahkan kebingungan kenapa ia menawarkan Kyu Hyun sarapan, tapi ada sedikit perasaan aneh ketika Kyu Hyun menolak untuk sarapan disini. Oh, tidak, dia bukan menolak. Dia hanya tidak bisa. Hyun Hae seharusnya tidak perlu begitu perasa.
Hyun Hae terlalu banyak termenung sendiri, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Kyu Hyun sudah berdiri didepannya. Pria itu tersenyum, memegang kedua bahu Hyun Hae, mencondongkan tubuhnya perlahan dan semakin mendekat kearah Hyun Hae. Oh, tidak pria itu akan melakukannya sekali lagi. Iya, Kyu Hyun pasti akan melakukannya sekali lagi. Jangan dilihat. Kim Hyun Hae tidak boleh melihat matanya atau Kyu Hyun akan melakukan…
“Kenapa kau menutup matamu?”
Bisikan itu membuat Hyun Hae terhenyak. Dia membuka matanya dan melotot mendorong Kyu Hyun kebelakang. Kyu Hyun mempermainkannya, pria itu tertawa puas-puas.
“Sialan!” rutuk Hyun Hae pelan.
“Katakan padaku, kau sebenernya menanti ciumanku kan?”
Pipi Hyun Hae bersemu, ia teringat bahwa ia masih memegang Hyun Ji yang membuat geraknya tidak bebas untuk memberikan satu atau dua pukulan pada kepala Kyu Hyun. “Aku tidak pernah!”
Kyu Hyun bergerak cepat. Berdiri mensejajarkan dirinya, menekan tubh Hyun Hae tidak terlalu keras karena ada Hyun Ji diantara mereka. Kyu Hyun menempelkan dahihnya pada Hyun Hae kemudian berbisik, “Aku tidak akan menciumu. Belum. Jika kau tidak memintanya maka aku tidak akan melakukannya.” lalu kepalanya terangkat, ia melihat kearah Hyun Ji yang sejak tadi melihat mereka penuh penasaran. “Aku akan mencium gadis kecil ini karena aku tau aku bisa melakukannya,” Kyu Hyun memberikan dua kecupan ringan pada pipi Hyun Ji. “Aku pergi.”
Hyun Hae mengigit bibir bawahnya dan mengangguk.
Hyun Hae tidak mengantar Kyu Hyun kedepan. Ia tidak mengikuti Kyu Hyun ketika pria itu membuka pintu dan keluar dari rumahnya. Ia sudah dibuat banyak terkejut oleh Kyu Hyun.
Baginya, Kyu Hyun itu sama dengan tanda bahaya.
***
            Jangan pernah membiarkan ibumu memegang kunci rumah, itulah yang Kyu Hyun tanamkan mulai sekarang dalam benaknya. Ia benar-benar akan mengganti password apartemennya setelah ini. Pasalnya ia hampir saja menerjang ibunya sendiri ketika wanita itu berdiri tegak, juga tidak bergerak, hanya memandang lurus kepada Kyu Hyun yang membuka pintu. Itu sangat menyeramkan. Kyu Hyun sekarang mengerti kenapa adegan horor didalam film selalu melibatkan wanita dengan rambut panjang dan wajahnya yang dirias berantakan.
Oh, astaga. Beruntung Kyu Hyun bukan pria dengan penyakit jantung kronis. Jika iya, Kyu Hyun mungkin akan mati di usia muda.
Setelah mengucapkan semacam ungkapan rasa syukur bahwa yang dilihatnya bukanlah mahluk halus melainkan ibunya, Kyu Hyun barulah berani melangkah masuk dan menutup pintu dibelakangnya.
“Aku benar-benar harus pergi ke gereja untuk berdoa. Akhir-akhir ini Tuhan banyak mengujiku dengan banyak kejadian yang membuat jantungku berdetak cepat sebelum akhirnya nanti terkena serangan mendadak.” Tutur Kyu Hyun saat ia melewati ibunya dan menghempaskan diri ketas sofa.
Tidak menghiraukan, Jenny berbalik dan bersedekap untuk menyelidiki Kyu Hyun. “Kau tidur dimana?”
“Aku pria lajang yang suka tidur sembarangan.” Jawab Kyu Hyun serampangan
“Kau….tidur di hotel?”
“Tidak.”
Jenny duduk disamping dan mengendus jaket Kyu Hyun. “Tidak ada bau alkohol. Kupikir kau mabuk, mengingat betapa bersahabatnya kau dengan botol minuman.”
Kyu Hyun mendengus, ia membuka jaketnya dan melemparkannya ke lantai.
“Aku sudah mulai membiasakan diri untuk berhenti minum sejak terakhir kali kutau perilaku mabukku itu bisa menghasilkan bayi.” Kyu Hyun berujar santai, ia melirik kearah ibunya yang terlihat jauh lebih kaget. “Aku yakin kau datang kesini untuk memukuliku atau melakukan sesuatu yang keji. Iya kan?”
“Ya. Memang. Dan jika kau bukan anakku, mungkin aku sudah membuat gigimu rontok dengan pot bunga keramik yang baru kubawa.”
“Ibuku seorang gangster. Jangan menahannya, keluarkan saja.” Sarkasme Kyu Hyun membuatnnya dihadiahi jitakan kecil didahi. “Coba lihat, penyikasaanku baru saja dimulai.”
“Berhenti bermain, Kyu. Aku kesini karena terakhir kali kau mengunjungiku hanya untuk memberi kabar bahwa sekarang aku seorang nenek dan setelah itu kau pergi begitu saja tanpa menjelaskan banyak hal.”
Itu memang benar. Kyu Hyun tidak banyak menjelaskan dengan ibunya. Ia pergi begitu selesai mengatakan bahwa sekarang ia memiliki seorang putri. saat itu hanya itu yang bisa ia lakukan. Toh, dia datang menemui ibunya hanya untuk memberi kabar. Tentang penjelasan lebih lanjut, Kyu Hyun berencana untuk mengunjungi ibunya lain kali dan membicarakannya. Tapi itu semua terlambat karena wanita itu memang sangat tidak sabaran. Kyu Hyun seharusnya tau salah satu sifat ibunya itu
Jadi sekarang Kyu Hyun hanya perlu bersikap lebih tenang.
“Aku menemuimu memang hanya untuk mengatakan itu.”
“Ya tapi bagaimana bisa kau membuatku menjadi seorang nenek dalam waktu satu hari?”
“Maksudnya, Eomma tidak tau cara melakukannya? buka baju, matikan lampu, jangan berisik dan…”
“Aku benar-benar akan melemparkan pot bunga itu, Kyu. Lihat saja nanti.”
Kyu Hyun tertawa. Ia duduk jauh lebih tegak dan mulai untuk menjelaskan dengan berdeham. “Sebenarnya aku tidak yakin apa ini kabar baik atau kabar buruk untukmu. Tapi fakta kau memiliki seorang cucu itu benar. Aku memiliki putri. kumohon jangan tanyakan proses bagaimana aku memilikinya, karena kuyakinkan bahwa kau tidak ingin mendengarkan hal menjijikan seperti menjilat, mencium dan lampu kamar yang mati.”
Jenny menarik napas kasar. Ia memejamkan mata dan bertanya dengan suara yang lebih berat. “Siapa yang kau hamili, Kyu?”
“Aku mungkin menjadi satu-satunya pria yang membicarakan kehidupan bercintanya dengan sang ibu.” Kyu Hyun meringis pelan. “Kau sedang mengajakku untuk membicarakan tentang kehidupan lajangku, ya?”
“Jawab saja!”
Kyu Hyun berhenti untuk bercanda ketika tidak ada senyum di raut wajah Jenny. “Well, dia ini seorang wanita yang kukenal. Salah satu dari teman wanitaku semasa kuliah.”
“Kau, kenapa waktu itu tidak menggunakan pengaman?” Jenny mulai mengomel sendiri. “Kalian para pria selalu menolak menggunakan pengaman dengan alasan kenyamanan. Seharusnya sebagai pria kalian tau, ketika kalian menembakkan benih, maka itu akan menyebar dan menghasilkan bayi.”
Kyu Hyun tersentak. Ia tidak pernah mendengar ibunya berbicara sebegitu vulgarnya. Mereka cukup sering bercanda tapi sebagaimana yang Kyu Hyun tau, topik tentang kehidupan lajang Kyu Hyun bukan suatu hal yang sering mereka bahas. Kyu Hyun bahkan baru tau bahwa ibunya menggunakan banyak modifikasi kata untuk menjabarkan ungkapannya.
Eomma, kau membuatku terdengar seperti pria yang menjijikan.” Hembusan napas Kyu Hyun membawanya menerawang jauh kedepan. “Aku selalu berhati-hati ketika berhubungan intim dengan wanita, bahkan aku selalu membawa benda itu dan terselip di saku, jika kau mau tau. Hanya saja malam itu aku memang benar-benar sedang mabuk.”
Jenny tidak menahannya lagi. Kali ini ia benar-benar memukul Kyu Hyun dengan bantal. Tepat di kepala Kyu Hyun yang langsung membuat pria itu pening. “Kau dan kebiasaan minummu itu, Kyu. Aku tau suatu hari kau akan menyebabkan masalah dengan kebiasaan burukmu itu.”
“Kau sudah mengomeliku selama aku hidup dan kemarin aku menyadari bahwa kau benar, Eomma. Aku menghancurkan mimpi seorang wanita.” perlahan suara Kyu Hyun menghilang.
Perasaan bersalah terhadap Hyun Hae akan terus ada menghantuinya. Kyu Hyun berharap seandainya ia bisa membuat otaknya bekerja leih pintar dengan membuat mesin waktu, mungkin ia ingin kembali pada malam dimana semua itu bermula.
Mungkin Kyu Hyun tidak akan menyuruh Hyun Hae untuk ikut menjadi asisten kelompok basketnya.
Mungkin juga Kyu Hyun akan menolak gelas-gelas minuman yang sampai sekarang tak pernah ia ingat jumlahnya.
Jenny menghela napas. Andangannya berubah iba. Bukan untuk Kyu Hyun, untuk calon menantu yang belum pernah di temuinya. Jenny memandang Kyu Hyun nanar. “Dimana dia? Seharusnya kau membawanya kepadaku, Kyu.”
Kyu Hyun mengerucutkan bibirnya dan menggeleng. Kembali persis seperti Kyu Hyun kecil yang selalu Jenny hadapi tepat belasan tahun lalu. “Belum saatnya, eomma.”
“Astaga, kau tidak bisa banyak mengulur waktu, Kyu. Banyak yang harus di persiapkan,” Jenny mulai berdiri, mata Kyu Hyun mengikuti geraknya. Lalu ia bersandar pada dinding didepan Kyu Hyun. “Kita harus segera mengatur pernikahan.”
***
            Hyun Hae duduk sendirian di meja makannya. Menyeduh segelas kopi dan sepotong cupcake sisa yang ada di lemari pendingin. Hari ini cukup melelahkan. Hyun Ji yang seringkali rewel membuat Hyun Hae harus memiliki tenaga ekstra, bahkan Hyun Hae juga harus merasa kesulitan untuk pergi ke kamar kecil. Setiap kali ia melangkah menjauh dari Hyun Ji, maka bayi itu akan mulai meraung dan Hyun Hae harus mengalah. Untunglah akhirnya Hyun Ji tertidur setelah cukup lama terjaga dan kesempatan bagi Hyun Hae untuk beristirahat sebelum Hyun Ji kembali bangun.
Ini sudah hampir malam, dan sudah lebih dari 12 jam Kyu Hyun tidak berada dirumah ini. Kim Hyun Hae memandang pada sofa dimana Kyu Hyun tidur. Bantalan sofa yang terjatuh dan selimut putih masih teronggok disana. Hyun Hae memang belum membereskannya, banyak alasan mengapa ia membiarkannya tetap seperti itu. Selain tangisan Hyun Ji yang semakin mengeras jika ditinggal, hanya dengan melihat sofa itu Hyun Hae percaya bahwa ia benar-benar mengijinkan Kyu Hyun untuk tinggal.
Astaga, pikiran dari mana itu.
Dia menggelengkan kepala. Menyesap kopi, Hyun Hae mulai menyibukkan diri dengan terus menyendokan cupcake kedalam mulutnya.
Ponsel yang bergetar mengalilhkan pandangan Hyun Hae keatas meja. Layar ponsel menampilkan nama panggilan akrab. Hyun Hae menggeser tombol hijau pada layarnya.
“Sunnie…”
Suara berisik dari sebrang sana membuat Hyun Hae menjauhkan ponsel itu dari pendengarannya. Sepertinya Sun Ae sedang berada di suatu tempat yang ramai. Lama ada jeda, akhirnya Hyun Hae mulai mendengar Sun Ae yang menepi dari sana.
“Hae-yah, bagaimana kabar gadis kecilku?”
“Hampir pulih dan semakin berisik,” Hyun Hae tertawa samar. “Dia tidak bisa ditinggal dan selalu meraung jika keinginannya tidak terpenuhi.”
Hyun Hae dapat mendengar suara Sun Ae yang mengerutkan hidung. “Aku tidak percaya bahwa dia sudah menunjukan sifat ayahnya.”
Hyun Hae tidak menampiknya, ia hanya memainkan jemarinya pada pinggiran piringnya. “Kau benar. Kyu Hyun dalam versi mini, dengan rambut tipis, tanpa gigi dan berliur.”
“Penggambaranmu sedikit menjijikan dengan kata berliur. Merusak imajinasiku.”
“Seharusnya tidak. Karena akhir-akhir ini Hyun Ji memang seringkali berliur. Mungkin karena gigi awalnya baru akan tumbuh. Dia selalu memeletkan lidahnya, dan semakin sering tiap kali aku melarangnya. Astaga, bagaimana bisa bayi sekecil itu sudah bisa membangkang.”
Sun Ae tertawa. “Kau tidak boleh mengeluh. Seingatku kau juga bukan gadis penurut. Rasakan!”
“Kau benar,” Hyun Hae teringat dan tertawa ringan. “Kusarankan untuk mengubah sikap-sikap burukmu sebelum menikah dan punya anak. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bayi-bayi jaman sekarang sudah bisa menirukan sikap-sikap menjengkelkan yang diwariskan oleh orang tuanya.”
“Kau mulai gila dan tidak masuk akal.” Sun Ae mendengus. “Lagipula prospek mempunyai anak masih sangat jauh bagiku.”
“Aku dulu juga begitu. Tak pernah terlintas di otakku untuk mempunyai anak sebelum aku menyelesaikan studi. Dan lihatlah yang terjadi padaku sekarang. Tuhan memberkatiku bayi kecil menggemaskan.”
“Aku menjamin bahwa Dong Hae jauh lebih berhati-hati daripada Kyu Hyun.”
“Benarkah?” Hyun Hae menggodanya. “Mau berbagi cerita?”
“Jangan banyak berharap!”
Mereka tertawa.
“Well, aku menelponmu sebenarnya untuk menyampaikan sesuatu.” Gangguan mulai datang, yang Hyun Hae dengar dari balik telpon Sun Ae mengutus sudah lebih dari dua orang untuk menunggunya.
Hyun Hae menunggunya selesai sebelum bertanya, “Apa?”
“Aku mengundang Kyu Hyun untuk hadir di acaraku. Ahh..ku ralat. Donghae mengundang Kyu Hyun untuk hadir di acara kami minggu depan.”
Hyun Hae tidak terlalu terkejut. Sun Ae tidak terlalu akrab dengan Kyu Hyun dan bisa dikatakan memusuhinya. Ia tidak mungkin mengundang Kyu Hyun jika bukan karena Donghae. Dan Hyun Hae juga tidak merasa heran kepana Donghae mengundang Kyu Hyun. Kedua pria itu cukup mengenal satu sama lain. walaupun tidak bisa dibilang berteman, namun Kyu Hyun dan Donghae pernah terlibat insiden khusus yang membuat mereka saling mengenal.
“Baiklah, aku akan memberitahukannya.”
“Kau juga harus pergi bersamanya. Kau, Hyun Ji dan Kyu Hyun. Pergilah bersama. Aku akan lebih tenang jika kau pergi menggunakan mobilnya daripada menyetir sendirian.” Tambah Sun Ae. “Hyun Ji sedang rewel, seperti yang kau katakan. Tidak ada yang lebih berbahaya dari pada menyetir sembari mengurus bayi yang menangis. Belum lagi Hyun Ji belum benar-benar bisa duduk diam di kursi bayinya. Terakhir kali, bayi itu berusaha menggeliat tak nyaman dari kursinya.”
Hyun Hae khawatir semua yang dikatakan Sun Ae itu benar. Hyun Hae tidak bisa menyetir sambil menenangkan Hyun Ji apabila bayi itu menangis. Itu sangat berbahaya. Terlebih Hyun Ji punya kebiasaan peronta jika sedang menangis. Hyun Hae tidak berani memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika ia memaksakan dirinya untuk menyetir.
Mengalah, Hyun Hae menghela napas tajam. “Aku juga akan berbicara dengan Kyu Hyun soal menumpang mobilnya. Aku hanya tidak terlalu yakin dia akan setuju.”
“Omong kosong. Dia pasti akan setuju.” Sun Ae merasa semakin banyak gangguan dan dia memutuskan untuk menutup telpon. “Aku akan menelponmu kembali nanti. Mereka sudah menungguku dan sangat cerewet.”
“Pergilah. Sampaikan salam sayangku untuk Donghae oppa.”
“Akan kusampaikan bahwa pacar keduanya menitipkan salam cinta untuknya agar semangat bekerja,” tukas Sun Ae tanpa tersinggung. Dia sudah biasa.
Sambungan telpon pun terputus.
Hyun Hae meletakan kembali ponselnya diatas meja. Well, dia harus mengabarkan Kyu Hyun tentang rencananya. Ia akan menelponnya. Nanti, tidak sekarang. Kyu Hyun baru saja bertemu dengannya, terasa aneh jika Hyun Hae menelpon Kyu Hyun. Ia takut dengan pemikiran pria itu. atau lebih takutnya Hyun Hae takut apa yang akan Kyu Hyun pikirkan tentang dirinya. Hyun Hae takut Kyu Hyun akan mengatakan dia mencari alasan untuk menghubunginya atau apapun itu lah.
Hyun Hae menyesap kopinya yang mulai dingin. Berusaha menikmati harinya dan jam kebebasannya untuk beberapa saat sebelum Hyun Ji…sesuai dengan tebakannya, Hyun Ji menangis lagi.
***
Seoul University, 27  November 2014
Tidak ada yang berani mengambil resiko untuk terkena flu musim dingin di penghujung bulan November. Para mahasiswa lebih berminat dengan cafetaria ataupun bagian dalam gedung yang menyediakan fasilitas penghangat ruangan. Taman maupun lapangan yang biaasanya ramai berubah sepi. Hanya ditutupi tumpukan licin sisa-sisa salju yang turun.
Hyun Hae tidak berkata bahwa duduk di bangku taman di bulan desember menyenangkan. Hidungnya memerah karena udara dingin. Matanya berair menahan hawa sejuk yang menyengat. Napasnya pendek-pendek. Jaket tebal yang ia pakai tidak cukup menjaga suhu tubuhnya tetap hangat. Tapi setidaknya itu lebih baik dari pada berada di dalam gedung yang dipenuhi oleh orang-orang yang memancing rasa mualnnya.
            Sejak mengetahui dirinya hamil pagi tadi, Hyun Hae berusaha untuk mencari jalan keluar yang tepat. ia tidak bisa menyembunyikan kehamilan ini lebih lama. hari terus berganti dan setiap bulan perutnya akan membesar. Tidak ada waktu untuk menunggu. Pernah sekali terpikir oleh Hyun Hae untuk memberitahu Kyu Hyun dan hal itu didukung penuh oleh Sun Ae. Bahkan Sun Ae terus memaksanya dan mengancam akan menyeretnya jika ia tidak memberitaukan Kyu Hyun. Tapi tidak semudah itu. Hyun Hae takut Kyu Hyun akan menolaknya, yang pastinya akan dilakukan pria itu jika mengetahui Hyun Hae mengandung.
Dia pasti akan mengingkarinya, Hyun Hae membantin.
Suasana hati Hyun Hae semakin tak karuan. Didorong oleh hormon kehamilan yang sangat emosional, Hyun Hae merasakan air matanya mengalir dingin di pipi. Awalnya ia berusaha untuk tidak menangis terlalu keras. Namun isakannya berubah, semakin lama semakin sulit untuk menghentikan tangisannya. Hyun Hae mendpati diirnya mengerutkan hidung berkali-kali.
Ah sial, kenapa harus menangis.
Hyun Hae mengusap matanya  dengan kedua telapak tangan ketika tepukan ringan di bahunya cukup membuat Hyun Hae terkejut dan beringsut dari bangku yang ia duduki.
“Hai…” kata itu di ucapkan oleh seorang pria dengan mantel bulu yang menutupi kepalanya. Helaian rambutnya yang lepas menunjukan bahwa rambut pria itu berwarna coklat keemasan. Sangat tampan dan populer dalam memainkan alat musik.
Hyun Hae mengenalnya. Lee Donghae, mahasiswa tingkat akhir jurusan musik. sang jenius bersuara emas.
Hyun Hae tak bergerak selama beberapa detik. Ia memperhatikan bagaimana gerak  Donghae dimulai dari memutari bangku hingga duduk di sampingnya. Pria itu bersandar pada bangku dan menghembuskan napas hangat yang berbaur dengan hawa dingin di udara.
“Tidak buruk ternyata,” komentarnya ambigu.
“A..apa?” tanya Hyun Hae.
Donghae menoleh, memiringkan kepalanya kesamping dan memasang senyum manis dengan sederet gigi rapi. “Aku baru saja keluar dari gedung musik dan melintasi taman dengan berlari terbirit-birit karena takut dengan dinginnya hari ini. tapi kau,” dia menunjuk Hyun Hae. “wah, bagaimana aku mengatakannya, ya. Kau seperti tidak punya rasa takut terkena demam ataupun flu. Aku memperhatikanmu.”
Hyun Hae terhenyak. Memperhatikan. Astaga, dia baru saja menangis. Apa pria ini juga memperhatikan waktu Hyun Hae mengerutkan hidungnya?
Yang dilakukan oleh Donghae saat ini adalah mengerutkan hidungnya. “Lihat, hidungku saja sudah gatal dan memerah. Sebentar lagi aku pasti akan bersin.” Dan Donghae membuktikan ucapannya tak lama setelah itu.
Hyun Hae meliriknya dan berdeham. “Kau bisa pergi dari sini sebelum terkena flu, sunbae.”
Menggosok hidungnya yang gatal, Donghae mengangguk. “Kau benar. Aku seharusnya pergi dari sini sebelum terkena flu. Termasuk kau.”
“Aku belum terkena flu.”
“Dan akan terkena flu jika kau berlama-lama disini.”
Hyun Hae tidak pernah berbicara dengan Donghae. Ia bukanlah gadis yang sering dilihat di kampus. Orang-orang dengan status dan populer seperti Dongha cenderung mengabaikannya, Hyun Hae bersyukur akan hal itu. jadi, ketika pria itu berbagi bangku dan berbicara dengannya sekarang, Hyun Hae merasa aneh.
“Aku akan pergi nanti setelah kau pergi.” Tukas Hyun Hae berharap kebohongannya akan membuat Donghae pergi dari sini. Lagipula, apa peduli pria itu jika ia berlama-lama duduk di bawah salju. Mereka tidak dalam hubungan saling mengenal satu sama lain.
Donghae mendengus, dan mengeluarkan suara tercekik yang aneh. “Aku tidak akan percaya itu.” dia mengenggam tangan Hyun Hae dan menariknya pelan. “Ayo, ikut aku masuk kedalam. Atau aku akan menyeretmu dan tidak akan berhenti meskipun kau berteriak.”
Akhirnya setelah beberapa jam yang melelahkan, Hyun Hae merasakan selera humornya kembali. ia teringat Sun Ae dan perkataannya yang persis sama.
Donghae menautkan alis, genggaman tangannya mengendur. Ia bertanya, “Kenapa kau tiba-tiba tertawa?”
“Kau mengatakan hal yang sama persis dikatakan oleh sahabatku pagi tadi.”
“Kata-kata yang mana? Menyeretmu?”
Hyun Hae mengangguk. “Persis sama. Lucu sekali.”
Dahi Donghae berkerut semakin dalam, dan perlahan ia menggeleng. “Well, kupikir aku membenarkan sahabatmu soal menyeretmu. Tentu saja dia akan menyeretmu jika kau melakukan tindakan-tindakan aneh, salah satunya seperti sekarang ini.”
“Aku tidak melakukan tindakan aneh. Aku hanya duduk di bangku taman ini.”
“Duduk di bangku taman ini memang tidak aneh jika kau tidak melakukannya di penghujung bulan november. Musim dingin sedang dingin-dinginnya. Salju sedang turun. Kau akan membuat dirimu sakit.”
Hyun Hae merasa sedikit kesal. Ia sedang di ceramahi seperti anak kecil. Biasanya dia akan diam dan pergi, tapi sekali lagi, mari kita salahkan hormon kehamilan yang membuatnya sensitif. “Kenapa kau peduli? Kau tidak mengenalku. Aku tidak mengenalmu. Aku tidak pernah berbicara denganmu sebelum ini dan kau bersikap seolah kita saling mengenal.”
“Aku memang tidak mengenalmu. Tapi ketika kau membahayakan diri sendiri dengan duduk disini dan aku tidak bisa mengabaikanya, sudah seharusnya aku memperingatkanmu ini tidak baik untuk kesehatanmu.” Donghae melirik perut Hyun Hae yang di tutupi jaket tebal. “…terutama untuk bayimu.”
Ada jeda yang panjang disana. Hyun Hae merasa bumi tempatnya berpijak terasa bergelombang. Mendadak perasaan mualnya kambuh. Sial, pria ini tau.
“Kau….” Hyun Hae tak bisa meneruskankannya.
Donghae merentangkan kedua telapak tangannya di udara. “A..aku tidak sengaja. Kupikir aku menghampirimu terlalu cepat dan tidak ada orang yang senang di hampiri ketika sedang menangis. Aku tidak ingin membuatmu malu, jadi aku menunggu sampai tangisanmu mereda. Tapi gumaman kecil di bibirmu yang memberitahuku masalahmu yang sebenernya.” Ucapnya.
Hyun Hae tak sadar ia mengumamkan sesuatu saat menangis tadi. Tapi yang jelas ia tidak bisa menyalahkan pria itu atas kebodohannya, yang bisa Hyun Hae lakukan hanya menunduk. Tidak ingin memandang Donghae dan menanggung rasa malu lebih lagi.
“Bisakah kau pergi dari sini dan berpura-pura lupa dengan apa yang kau dengar. Aku sudah cukup malu untuk melihatkan wajahku kepadamu.”
Raut wajah Donghae berubah pengertian. “Malu? Untuk apa? Karena melihatmu menangis atau karena mengetahui bahwa saat ini kau sedang mengandung?”
“Keduanya.” Lirih Hyun Hae pelan.
“Yaa, bagaimanapun kau tidak bisa menyesal dengan apa yang sudah terjadi sekarang. Aku tidak bisa berpura-pura tidak mendengarnya, tapi aku berjanji untuk tidak memberitahukan kepada siapapun tentang ini.” Donghae meletakan kedua tangannya pada bahu Hyun Hae. membuat gadis itu berbalik kearahnya. “Aku tidak  ingin ikut campur tentang masalahmu, tapi aku akan memberikan saran. Suka atau tidak kau harus memberitahukan pria itu, karena seorang pria harus tau jika ia mempunyai anak, suka atau tidak suka. Walaupun, aku memang tidak berharap suatu hari nanti seorang wanita datang kepadaku dan dengan tiba-tiba mengatakan bahwa aku punya anak.” Donghae berdesis, merinding ngeri. “Tapi, jika benar itu anakku, maka aku harus tau. Akan sangat mengecewakan bagi seorang pria jika ia dipaksa tidak bertanggung jawab. Jadi, bicaralah padanya.”
 Tangis Hyun Hae pecah. Ia merutuk pada hormon kehamilan sialan yang membuatnya menjadi gadis cengeng. Astaga, ia bahkan tersedu-sedu ketika Donghae memeluknya. Megelus belakang tubuhnya untuk menenangkan.
Hyun Hae merasa bahwa pelukan Donghae menghangatkannya. Menenangkannya. Ia mulai berpikir apa yang dikatakan Donghae sepenuhnya benar. Ia harus memberitahu Kyu Hyun. Ia toh tidak bisa memikirkan ini sendiri. Ia harus mencari Kyu Hyun nanti. Mungkin sekarang Kyu Hyun ada di…
Depannya. Terjadi secepat kilat. Pelukan Donghae terlepas oleh tarikan kuat dari tangan Kyu Hyun yang menyentak kerah baju dalam Donghae dan menghempaskan pria malang itu ke tanah.
“Cho Kyu Hyun!”
Kyu Hyun tidak menyesal. Dia menjadi-jadi. Mengarahkan kepalan tangannya tepat diatas wajah Donghae yang kembali tersungkur. “Kau pria menyedihkan. Bisa-bisanya kau membuat seorang gadis menangis, hah?” cecar Kyu Hyun menuduh.
“Astaga, Cho Kyu Hyun hentikan!” Hyun Hae menarik lengan Kyu Hyun sekuat tenaga sebelum ia benar-benar membuat Donghae mempunyai bekas luka serius.
Cho Kyu Hyun menatapnya. Matanya menyalang, merah. Ia sepenuhnya marah. Dan Hyun Hae bisa melihat bahwa Kyu Hyun sepertinya salah paham. “Kenapa. Apa yang dia lakukan kepadamu? Kau menangis seperti itu, seperti bukan dirimu. Bajingan ini pasti melakukan kesalahan, iya kan?
Satu-satunya yang melakukan kesalahan itu adalah dirimu, Cho Kyu Hyun. Hyun Hae membantin.
Hyun Hae mendelik. Matanya tak sengaja memandang Donghae yang duduk di tanah memegang sudut bibirnya yang berdarah. “Ya Tuhan, sunbae.” Hyun Hae melepaskan tangannya dari Kyu Hyun dan mendekati Donghae. “Darah. Kau berdarah.” Ia kembali memandang Kyu Hyun. “Kau membuatnya terluka!”
“Dia pantas mendapatkannya,” cecar Kyu Hyun. Rahangnya mengeras. Dia siap memukul Donghae lagi kalo bukan Hyun Hae berdiri didepannya.
“Apa sih yang kau pikirkan? Dia tidak melakukan sesuatu yang buruk kepadaku. Dia mencoba menolongku.”
“Menolongmu dari apa?”
“Dari…dari…pokoknya, dia menolongku.” Hyun Hae tak bisa menjawab, jadi ia menambahkan. “Kau tidak perlu tahu apa yang berusaha dia lakukan kepadaku. Apa-pun itu, kau tidak berhak memukulnya.”
Hyun Hae tidak yakin jawabannya dapat memuaskan Kyu Hyun, yang jelas wajah pria itu semakin mengeras dan jauh terlihat lebih marah.
“Kau benar, aku tidak perlu tahu. Bahkan aku tidak perlu tahu alasan kenapa pria itu memelukmu. Kau sudah menegaskannya sekarang.”
Hyun Hae menatap punggung Kyu Hyun nanar saat pria itu berbalik. Masih dengan amarahnya. Sial, apasih yang Kyu Hyun lakukan. Memukul Donghae. Tingkah konyol apa itu. baiklah, biarkan saja dia pergi. Hyun Hae akan mengurusnya nanti. Pertama-tama yang harus ia lakukan adalah merawat bibir Donghae yang robek.
Donghae menyeka lukanya dengan tangan saat Kyu Hyun pergi. Ia memberi isyarat kearah Kyu Hyun dengan kedua alisnya yang terangkat. “Pria itu ayah si bayi kan?”
Hyun Hae mengangguk.
“Lain kali, jika aku bertemu dengannya lagi, aku akan mematahkan dua giginya. Pertama untuk menjadi orang idiot karena tidak menyadari hasil yang dia lakukan kepadamu. Dan yang kedua untuk luka robek di bibirku.”

No comments :

Post a Comment